TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN
Makalah Hadis Sosial
Makalah Hadis Sosial
Dosen Pengampu: Dr. H. Agung Danarto, M.Ag

Disusun Oleh
Siti Mariatul K (10530071)
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2012
FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2012
PENDAHULUAN
Satu hal yang merupakan hadiah terbesar Tuhan
kepada segenap manusia, bahwasanya telah disematkan pada dirinya secara fitrah
sebuah jabatan pemimpin atau dalam bahasa agamanya khalifah fi al-Ardh.[1]
Dengan berbekal akal dan pikiran, diharapkan manusia mampu memikul tanggung
jawab dalam menjaga dan mengelola alam dengan arif dan bijaksana. Tanggung
jawab menjadi sikap terpenting bagi pemimpin karena dengan tanggung jawab
itulah kepemimpinan itu dapat berjalan dengan baik atau sebaliknya sesuai denagn
kadar tanggung jawab yang dimilikinya.
Untuk menjadi pemimpin yang baik, dicintai, dan
didambakan oleh semua orang, tidaklah cukup berbekal sebuah desire atau
keinginan saja, melainkan ada upaya yang dimantapkan dengan keyakinan untuk
melayani masyarakat yang ia pimpin dengan sebaik-baiknya, menghargai mereka,
dan tidak bersikap senjang atau hanya mengutamakan orang-orang tertentu saja.
Dalam Islam, banyak teks-teks baik dari
al-Qur’an maupun al-hadits yang berisi tentang konsep kepemimpinan. Jika di
gali lebih dalam, akan ditemukan sebuah gagasan menarik yang dapat menjadi
inspirasi untuk menjalani amanah ‘pemimpin’ baik bagi diri sendiri maupun orang
lain. Salah satu hadits yang menyinggung persoalan pemimpin adalah hadits yang
berbunyi “Tidaklah Allah ta’ala
menyerahkan suatu urusan rakyat kepada seorang hamba lalu ketika menjelang
ajalnya dia masih saja berkhianat kepadanya melainkan Allah pasti akan
mengharamkan surga atasnya.”
Hadits tersebut sangat
merespon dan menginginkan seorang pemimpin untuk bertanggung jawab penuh kepada
apa yang ia pimpin. Permasalahannya kemudian, masih ada pemimpin yang hanya
memiliki visi dan misi tanpa ada tindakan nyata yang diinginkan masyarakat.
Untuk itulah konsep kepemimpinan itu menjadi urgen untuk meluruskan
kepemimpinan-kepemimpinan yang cenderung mengunggulkan keegoannya atau
kepentingannya pribadi.
PEMBAHASAN
A. Teks Hadis
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا يَزِيدُ
بْنُ زُرَيْعٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ دَخَلَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
زِيَادٍ عَلَى مَعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ وَهُوَ وَجِعٌ فَسَأَلَهُ فَقَالَ إِنِّي
مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا لَمْ أَكُنْ حَدَّثْتُكَهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْتَرْعِي اللَّهُ عَبْدًا
رَعِيَّةً يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهَا إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ
عَلَيْهِ الْجَنَّةَ قَالَ أَلَّا كُنْتَ حَدَّثْتَنِي هَذَا قَبْلَ الْيَوْمِ
قَالَ مَا حَدَّثْتُكَ أَوْ لَمْ أَكُنْ لَأُحَدِّثَكَ و حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ
بْنُ زَكَرِيَّاءَ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ
هِشَامٍ قَالَ قَالَ الْحَسَنُ كُنَّا عِنْدَ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ نَعُودُهُ
فَجَاءَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي
سَأُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ ذَكَرَ بِمَعْنَى حَدِيثِهِمَا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Yahya telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Zura’i dari Yunus dari al-Hasan
dia berkata, “Ubaidullah bin Ziyad mengunjungi Ma’qal bin Yasar yang sedang
sakit. Ubaidullah kemudian memminta sebuah hadits, maka Ma’qil pun berkata:
“Aku akan menyampaikan sebuah hadits yang belum pernah aku sampaikan kepadamu.
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah Allah ta’ala menyerahkan suatu urusan rakyat kepada
seorang hamba lalu ketika menjelang ajalnya dia masih saja berkhianat kepadanya
melainkan Allah pasti akan mengharamkan surga atasnya.” Ubaidullah berkata,
“Bukankah kemarin kamu telah menyampaikan hadits ini kepadaku?. Ma’qil
menjawab, ‘Aku belum pernah menyampaikan hadits ini kepadamu. Dan telah
menceritakan kepadaku al-Qasim bin Zakariya telah menceritakan kepada kami
Husain yakni al-Ja’fiy dari Zaidah dari Hisyam dia berkata, al-Hasan
berkata,’Ketika kami sedang menjenguk Ma’qil bin Yasar datanglah Ubaidullah bin
Ziyad. Ma’qil lalu berkata kepadanya, ‘Aku akan menyampaikan sebuah hadits yang
aku dengar dari Rasulullah saw..kemudian dia menyebutkan sebuah hadits yang
semakna dengan hadits mereka berdua. (Sahih Muslim: 204).
B. Takhrij
Hadis di atas setelah dilakukan takhrij
dapat ditemukan pula pada Shahih Bukhari no. 6617, Shahih Bukhari no. 6618, Musnad Ahmad no. 19406, Musnad Ahmad
no. 19428 dan Sunan ad- Darimi no. 2676.[2] Berikut
hasil penelusurannya:
1. Shahih Bukhari no. 6617
حَدَّثَنَا أَبُو
نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ
زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ
مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا
لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
2. Shahih Bukhari no. 6618
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ
بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ قَالَ زَائِدَةُ ذَكَرَهُ عَنْ هِشَامٍ
عَنْ الْحَسَنِ قَالَ أَتَيْنَا مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ نَعُودُهُ فَدَخَلَ عَلَيْنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً
مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ
3. Musnad Ahmad no. 19406
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ
حَدَّثَنَا سَوَادَةُ بْنُ أَبِي الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَاعٍ اسْتُرْعِيَ
رَعِيَّةً فَغَشَّهَا فَهُوَ فِي النَّارِ
4. Musnad Ahmad no. 19428
حَدَّثَنَا هَوْذَةُ
بْنُ خَلِيفَةَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ مَرِضَ مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ
مَرَضًا ثَقُلَ فِيهِ فَأَتَاهُ ابْنُ زِيَادٍ يَعُودُهُ فَقَالَ إِنِّي مُحَدِّثُكَ
حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
مَنْ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَلَمْ يُحِطْهُمْ بِنَصِيحَةٍ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ
وَرِيحُهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ مِائَةِ عَامٍ قَالَ ابْنُ زِيَادٍ أَلَا كُنْتَ
حَدَّثْتَنِي بِهَذَا قَبْلَ الْآنَ قَالَ وَالْآنَ لَوْلَا الَّذِي أَنْتَ عَلَيْهِ
لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهِ
5. Sunan ad- Darimi no. 2676
أَخْبَرَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ
بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ
لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ بِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ
يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ
إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
C. Kualitas Hadits
Hadits ini berpredikat shahih menurut
jumhur ulama. Dalam hadits tersebut ada beberapa perawi yang memiliki predikat tsiqah.
Misalnya al-Qasim bin Zakariya (w.250 H) yang bernama lengkap al-Qasim bin
Zakariya bin Dinar, dia merupakan orang yang tsiqah. Kemudian Yahya bin
Yahya (w. 226 H) yang bernama lengkap Yahya bin Yahya bin Bakir Abdurrahman
juga merupakan orang yang mendapatkan predikat tsiqah.
D. Syawahid Hadits
Dalam kaitannya dengan tema kepemimpinan,
beberapa hadits Nabi saw tampaknya banyak merespon hal tersebut. Hal ini
terbukti dengan munculnya hadits-hadits Nabi saw yang sangat erat berkaitan dan
bahkan menyoal tentang kepemimpinan dari berbagai segi, termasuk hadits riwayat
Imam Muslim no.204 di atas yang berisi tentang tanggung jawab pemimpin yang
merupakan aspek terpenting dalam konsep kepemimpinan. Diantara hadits-hadits
yang terkait dengan hadits di atas di antaranya,
حَدَّثَنِي
هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي
حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ
أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ
مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ
مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ
فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى
النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي
الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا
سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي
بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ
عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا
فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا
ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisyah r.a berkata : saya telah mendengar Rasulullah
saw bersabda di rumahku ini : ya Allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan
umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang
mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya.
(HR. Muslim)
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ
كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Abu Hurairah
r.a berkata : Rasulullah saw bersabda : dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh
nabi, tiap wafat seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan
sesudah aku ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa
khalifah. Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya Rasulullah apakah
pesanmu kepada kami? Jawab Nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang
pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan mohonlah kepada allah
bagimu, maka allah akan menanya mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam
memelihara hambanya.
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ
فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ
النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ قَالَ
وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ
أَبِي سَعِيدٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Rasulullah
saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat
dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang
adil. Sedangkan orang yang paling dibenci Allah dan sangat jauh dari Allah
adalah seorang pemimpin yang zalim. (HR. Tirmidzi)
E.
Analisa
1.
Konsep Kepemimpinan
Kemimpinan
secara etimologi menurut KBBI berasal dari kata ‘pimpin’ dengan mendapat awalan
me- menjadi ‘memimpin’ berarti menuntun, menunjukkan jalan, dan
membimbing. Perkataan ‘memimpin’ bermakna sebagai kegiatan, sedang yang
melaksanakannya disebut pemimpin.
Pemimpin
adalah seorang yang memimpin dan mengerahkan orang lain sehingga orang yang
dipimpin itu mematuhinya dengan sukarela. Setiap orang yang berfungsi memimpin,
membimbing, dan mengarahkan orang lain adalah seorang pemimpin. Fungsi ini
terdapat di semua sector dan bidang kehidupan, seperti usaha bisnis, organisasi
pemerintahan, organisasisi kemasyarakatan atau partai politik, dan sebagainya.
Pemimpin terendah di desa-desa sampai tingkat tertinggi, secara garis besar
digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu administrative leader, golongan
pimpinan yang menentukan kebijakan dan operative leader, yaitu golongan
pemimpin yang langsung berhadapan dengan operasi, yang merupakan pelaksana dari
kebijakan yang dibuat oleh pemimpin administrasi. (Effendy,1986:206-207).
Terkait dengan konsep kepemimpinan, Ott dan Fakih
mendefinisikan konsep kepemimpinan sebagai proses hubungan antar pribadi yang
di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan dan perilaku orang lain.[3]
Sedangkan menurut Haryanto, kepemimpinan sebagai orang yang berkuasa sekaligus
mempunyai kewenangan.[4]
Max weber menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah seseorang yang berkuasa
terhadap satu golongan di mana seorang pemimpin itu mempunyai tipe- tipe
sendiri untuk memimpin anak buahnya.[5]
Kepemimpinan
juga merupakan kemampuan seseorang untuk meyakinkan orang lain agar orang lain
itu dengan sukarela mau diajak untuk melaksanakan kehendaknya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan seseorang sangat diutamakan. Kemampuan seseorang
secara keseluruhan meliputi keunggulan fisik, mental, dan intelektualnya. Jadi,
seseorang akan mampu memimpin jika ia mempunyai keunggulan, ia akan dipatuhi
oleh orang-orang yang dipimpinnya. Bagi seorang muslim yang menjalankan misi
sebagai pemimpin akan selalu mengharapkan keridhaan Allah Swt. atas segala yang
dilakukannya. Seorang yang berbakat memimpin tetapi ia tidak menguasai ilmu dan
teknologi serta tidak mempunyai pengalaman praktek akan sulit berhasil dalam
kepemimpinannya. Jadi faktor bakat memang penting tetapi harus dibarengi dengan
faktor pembentukan diri melalui pendidikan, praktek, dan latihan memegang
peranan yang penting dalam pembentukan kepemimpinan. (Effendy,1986:208).
Dalam
beberapa literatur, kepemimpinan dibedakan menjadi dua, yakni kepemimpinan
spiritual dan kepemimpinan empiris. Kepemimpinan spiritual diartikan sebagai
kemampuan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah swt baik secara
bersama-sama maupun perseorangan.[6]
Selain itu kepemimpinan spiritual juga diartikan sebagai kepemimpinan yang
berbasis pada etika religius dan kepemimpinan dalam nama Tuhan. Pemimpin
spiritual tidak hanya mempengaruhi pengikutnya pada tujuan organisasi melalui
pemberdayaan, akan tetapi juga mengemban misi humanisasi (amar ma’ruf),
liberalisasi (nahi mungkar) dan transendensi (membangkitkan iman).[7]
Sedangkan kepemimpinan empiris tidak lain merupakan kepemimpinan dalam realita.
Dengan kata lain, seorang pemimpin yang dapat diterima, dipatuhi, walaupun
bukan dalam artian sebagai pemimpin formal, maka itulah yang disebut sebagai
kepemimpinan secara empiris. Contohnya adalah ulama (tokoh agama).
A.
Analisa Isi Hadits
Sebagaimana dalam teks hadits “Tidaklah Allah
ta’ala menyerahkan suatu urusan rakyat kepada
seorang hamba lalu ketika menjelang ajalnya dia masih saja berkhianat kepadanya
melainkan Allah pasti akan mengharamkan surga atasnya”, dapat ditarik
benang putih bahwa kejujuran seorang pemimpin sangat diperlukan dalam
organisasi atau wadah yang ia pimpin. Hal ini terbukti pada sebuah riset yang
dilakukan oleh beberapa ahli bahwa rahasia sukses[8]
para pemimpin besar dalam mengemban misinya adalah memegang teguh kejujuran.
Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam
sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa
fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tidak dapat
bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas
kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan
itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya
mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Akan tetapi
semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya,
staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal
tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena
tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak
yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur
namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu
pula sebaliknya.[9]
Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam
hadis ini adalah seorang pemimpin harus memberikan kaca benggala atau
suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan
ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau
keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya.
Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan,
diharamkan oleh Allah untuk mengninjakkan kaki di surga. Meski hukuman ini
sepintas tampak hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di
dunia, namun sebenarnya hukuman “haram masuk surga” ini mencerminkan
betapa murkanya Allah swt terhadap
pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakyat.
F.
Kontekstualisasi
Berkaca pada realita kepemimpinan yang terdapat pada
masyarakat Indonesia, masih banyak pemimpin yang “perlu membaaca hadits di atas
secara serius”. Kata-kata ‘Allah pasti akan mengharamkan surga atasnya’ bukan
semata-mata surga secara real yang merupakan kebalikan dari neraka. Akan tetapi
bisa jadi makna surga tersebut adalah kenikmatan, kenyamanan, kebahagiaan
secara lahir batin yang ditopang dengan amal-amal baik yang dilakukan. Banyak
pemimpin yang menyimpang namun secara kasat mata, hidupnya bahagia, makmur, dan
sebagainya. Kebahagiaan dan kemakmuran itu bukan semata-mata sesuatu yang dapat
dilihat mata telanjang, tetapi hakikatnya adalah sesuatu yang secara murni
dirasaan oleh hati.
Pengkhianatan pemimpin bangsa menjadi big prblem di
dalam suatu negara. Misalnya, penjualan pulau-pulau terpencil, korupsi, dan
semacamnya termasuk terlalu percayanya pemimpin pusat terhadap pemimpin daerah
sehingga pemimpin pusat tidak mengontrol pemimpin daerah yang menyeleweng.
Untuk itulah pemimpin bukan sekedar duduk, berdiri dan berbicara saja, akan
tetapi lebih pada tindakan real nya.
G.
Kesimpulan
Terkadang beberapa orang berebut kursi kepemimpinan
hingga berbagai cara dilakukan untuk memenangkannya, padahal sesungguhnya
menjadi pemimpin bukanlah jabatan yang mudah untuk dijalankan. Pemimpin
memiliki tanggung jawab dan amanah yang besar dalam menjalankan pemerintahan.
Pemimpin harus menghilangkan keegoan dan mementingkan kaum yang dipimpinnya.
Untuk itulah pokok-pokok karakteristik kepemimpinan diantaranya adalah
1.
Harus
memiliki kejujuran sejati
2.
Fairness
3.
Semangat
beramal shalih
4.
Membenci
formalitas dan organized religion
5.
Talk less do more dan santai
6.
Membangkitkan
yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain
7.
Keterbukaan
menerima perubahan
8.
Pemimpin
yang dicintai
9.
Visioner
tetapi fokus pada persoalan di depan mata
10.
Doing the right thing
11.
Disiplin
tetapi fleksibel dan tetap cerdas dan penuh gairah
12.
Kerendahan
hati
Pemimpin, selain harus memiliki ke-12 karakteristik itu, yang perlu di
ingat adalah jangan pernah menjadi pemimpin yang ‘eksklusif’, cukup menjadi
diri sendiri yang tidak membutuhkan orang lain. Seperti filsafat lilin, rela
menerangi gulitanya sepetak ruangan akan tetapi ia kemudian habis dimakan
cahanya sendiri. Sedangkan kisah ruangan itu selanjutnya tidak pernah terfikir
olehnya. Dan lilin yang habis tidaklah dapat dinyalakan kembali. Wa Allahu
a’lam.
[1] Khalifah fi al-Ardh atau dalam bahasa Indonesia berarti khalifah di muka bumi adalah bagian
dari potongan ayat al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 30 di mana ayat ini
merupakan kutipan dialog antara Allah swt dengan malaikat yang berkenaan dengan kehendak Allah untuk
menjadikan manusia sebagai khalifah atau pemimpin.
[6] Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta:
Gajahmada University Pers: 1993), hlm. 18.
[9] Lihat http://zunlynadia.wordpress.com , Hadis-hadis
tentang Pemimpin, diakses pada tanggal 30 Oktober 2012
terima kasih atas infonya
BalasHapus