CORAK TAFSIR ‘ILMI
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Madzahib
at-Tafsir
Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Baidhawi, M.Ag
Oleh:
Siti Mariatul Kibtiyah
NIM.10530071
NIM.10530071
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2012
FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya al-Qur’an adalah kitab suci yang
menetapkan masalah akidah dan hidayah, hukum syari’at dan akhlak. Bersamaan
dengan hal itu, di dalamnya didapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang
berbagai hakikat (kenyataan) ilmiah yang memberikan dorongan kepada manusia
untuk mempelajari, membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum
muslimin telah berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Qur’an
dan ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu
pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an, dan di kemudian hari usaha ini semakin
meluas, dan tidak ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang banyak
faedahnya.
Munculnya corak tafsir ilmi dalam khazanah inteleklual Islam
merupakan respons terhadap ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an agar senantiasa
tetap relevan dengan perkembangan zaman. Selain itu, tafsir ilmi juga berupaya
memperbaiki pengetahuan seseorang yang telah ada dan membuka tabir makna
ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang belum mampu dipahami oleh umat sebelumnya
secara baik.
Dengan perkembangannya, tafsir ilmi selalu mengajak umat Islam
ungtuk senantiasa mengupas ilmu pengetahuan yang sebetulnya sudah terdapat
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Walaupun demikian nampaknya masih terdapat para
ulama yang tidak menyepakati hadirnya corak tafsir ilmi lantaran sebab-sebab
tertentu. Ilmu pengetahuan memang akan selalu mengalami perkembangan. Dan ayat
Al-Qur’an yang pada saat ini telah serasi dengan penemuan ilmiah, jika nantinya
ada anomali ilmu pengetahuan, maka dikhawatirkan aya al-Qur’an dianggap tidak
relevan lagi. Untuk itulah, dalam tulisan ringan ini mencoba menguraikan
seputar corak tafsir ilmi dan perkembangannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ilmi terdiri dari dua akar kata, yaitu at-tafsir dan
al-‘ilm. Kata tafsir dalam al-Qur’an bermakna penjelasan atau perincian.
Sedangkan kata ‘ilm dan berbagai derivasinya kerap digunakan dalam al-Qur’an
dalam arti umum pengetahuan (knowledge), termasuk untuk sains dan ilmu-ilmu
kemanusiaan (sciences of nature and humanities). Selain itu, kata ‘ilm dalam
al-Qur’an juga digunakan untuk pengetahuan yang diwahyukan (revealed) sekaligus
digunakan untuk pengetahuan yang diperoleh di luar wahyu (acquired). Dengan
demikian, berdasarkan pandangan al-Qur’an, terminologi ilmu tak terbatas pada
ilmu-ilmu agama saja, tetapi segala bentuk ilmu ilmu, baik ilmu alam, ilmu
sosial, humaniora, dan ilmu lainnya yang dapat dipergunakan untuk kemaslahatan
umat manusia.
Dalam beberapa literatur, pengertian tafsir ilmi adalah suatu corak
tafsir yang menggunakan pendekatan teori-teori ilmiah untuk menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, tafsir ilmi merupakan
corak penafsiran yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori ilmiah dan
pemikiran filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan kata lain, tafsir ilmi
disamping sebagai alat justifikasi dan mengkompromikan teori-teori ilmu
pengetahuan dengan al-Qur’an, juga bertujuan untuk mendeduksi teori-teori ilmu
pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri.[1]
Pengertian lain ditemukan bahwa, yang dimaksud tafsir ilmi adalah pemahaman
atas teks al-Qur’an dengan menggunakan data hasil observasi ilmiah sebagai
variabel penjelas. Dalam tradisi tafsir, hal ini misalnya dapat dijumpai pada
tafsirnya Thanthawi Jawhari yang menggunakan berbagai data ilmiah sebagai
variabel dalam menjelaskan ayat al-Qur’an.[2] Selain
itu, Tafsir ‘ilmi atau ilmiah juga diartikan sebagai tafsir yang penulisnya
hendak mengembalikan statemen-statemen al-Qur’an pada teori-teori dan
terminologi-terminologi ilmiah. Penulisnya berusaha sekuat tenaga untuk
menggali berbagai masalah sains dan pandangan-pandangan filsafat dari
statemen-statemen al-Qur’an tersebut.[3]
Selain tafsir ilmi, juga digunakan istilah tafsir kauniah. Kata
kauniah berasal dari akar kata al-kaun, yang lebih kurang memiliki arti yang
dijadikan, makhluk, dan alam semesta. Berdasarkan makna bahasa tersebut, tafsir
kauniah dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberi penafsiran yang
bersifat ilmu pengetahuan kepada ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir kauniah
menggunakan temuan-temuan ilmiah untuk menafsirkan makna dan maksud dari suatu
ayat al-Qur’an Ayat-ayat kauniah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang hukum,
data, atau setidaknya mengandung isyarat ilmiah. Selain itu, ayat-ayat yang
sepintas lalu terlihat seperti bukan ayat kauniah, sesungguhnya juga dapat
dikategorikan sebagai ayat-ayat kauniah, misalnya ayat-ayat yang membicarakan
sifat munafik (hyrocrisy). Ayat-ayat tersebut dapat ditafsirkan secara ilmiah
dengan memandang kemunafikan sebagai penyakit jiwa. [4]
Kaedah penafsiran
tafsir ‘ilmi ini lebih kepada petunjuk melalui kajian sains dan bukannya
menggunakan ijtihad melalui akal. Oleh sebab itu, ada ulama’ tafsir memasukkan
tafsir ilmi ini dalam tafsir isyari. Tafsir ilmi adalah berasaskan kepada
penerangan dan penjelasan melalui isyarat dari pada al-Quran sendiri yang
menunjukkan kepada kehebatan ciptaan Allah Swt. Allah berfirman:
Akan Kami tunjukkan
kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di segenap ufuk (penjuru) dan pada
diri mereka sendiri, sehingga jelas kepada mereka bahawa al-Quran itu benar. (Surah Fussilat: ayat 53).
Dalam kitab Tafsir
al-Quran al-‘Azim, al-Imam Ibn Kathir berkata, “(Allah) akan tunjukkan
bukti-bukti serta dalil-dalil di alam ini yang menunjukkan bahwa al-Quran ini
adalah benar.” Untuk menerangkan dan mengeluarkan bukti serta dalil dari pada
alam, sains diperlukan.
Seterusnya, berhubung dengan firman Allah yang bermaksud, “Dan pada diri
mereka sendiri,” Imam Ibn Kathir berkata, “Berkemungkinan yang dimaksudkan oleh
ayat ini ialah apa yang terdapat dalam tubuh badan manusia yang menakjubkan,
sebagaimana yang dapat dilihat dalam ilmu tasyrih (anatomi). Kesemua ini akan
menampakkan kebijaksanaan Yang Maha Pencipta”. Untuk mengenali organ serta
memahami sistem yang terdapat dalam tubuh manusia, sains juga diperlukan.[5]
Upaya menjelaskan ayat al-Qur’an dengan metode ilmiah ini dapat
dipahami mengingat dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak isyarat ilmiah. Akan
tetapi yang menjadi persoalan adalah manakah yang lebih dahulu; pemahaman
ilmiah baru dicarikan justifikasi pada al-Qur’an ataukah pemahaman al-Qur’an
yang kemudian mendorong riset keilmuan?. Tampaknya, yang pertama itulah yang
sering terjadi selama ini. Dalam konteks ini muncul problem krusial yakni
bagaimana bila teori ilmiah yang dijadikan penjelas tadinya diyakini telah
final dan berkesesuaian dengan al-Qur’an, ternyata mengalami anomali dan tidak
valid lagi, sebab, penemuan ilmiah tidak saja terus berkembang, tapi juga
berubah.[6]
Maka jika demikian, posisi teks al-Qur’an akan kehilangan relevansinya.
Terlepas dari itu, harus dicatat bahwa al-Qur’an bukanlah buku
sains ataupun teknik. Al-Qur’an bukanlah dimaksudkan untuk menjawab semua
problem manusia. banyak hal yang dapat diperoleh di luar al-Qur’an. Oleh karena
itu, menafsirkan al-Qur’an bukanlah untuk memenuhi kebutuhan aktual dan tekknik
melainkan berupaya berdialog dengannya untuk melihat bagaimana
pandangan-pandangannya.[7]
B.
Sejarah Perkembangan Corak Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ilmi pada mulanya dibangun bedasarkan asumsi bahwa al-Qur’an
mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah mapan maupun yang belum
ditemukan. Al-Qur’an selain tidak bertentangan dengan akal sehat dan ilmu
pengetahuan, tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama melainkan juga ilmu-imu dunia
(ilmu pengetahuan).[8]
Secara
historis, kemunculan penafsiran model ini banyak dikaitkan dengan masa Dinasti
Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid (169-194 H/ 785-809
M) dan al-Makmun (198-215 H/ 813-830 M) di mana terjadi perkembangan berbagai
ilmu pengetahuan, termasuk trend penerjemahan buku-buku ilmiah
karena terjadinya interaksi dunia Islam atau Arab dengan dunia luar (Yunani). Munculnya
kecenderungan ini sebagai akibat pada penerjemahan kitab-kitab ilmiah yang pada
mulanya dimaksudkan untuk mencoba mencari hubungan dan kecocokan antara
pernyataan yang diungkapkan di dalam al-Qur’an dengan hasil penemuan ilmiah
(sains). Gagasan ini selanjutnya
ditekuni oleh imam al-Ghazali dan ulama-ulama lain yang sependapat dengan dia.
Rekaman akan fenomena ini antara lain dituangkan oleh Fahru al-Razi dalam
kitabnya Mafatih al-Ghaib.[9]
Tokoh-tokoh
sains muslim seperti al-Kindi (185-260 H/ 801-873) dengan logika, matematika
dan fisikanya; Al-Razi (251-313 H/ 865-925 M) dengan filsafat dan kedokteran;
Ibn al-Haytam (354-431 H/ 965-1039 M) lensa dan refraksi cahaya; Ibn Sina
(370-429 H/ 980-1037 M) dengan kedokteran, filsafat dan logika; Umar Khayam
(430-517 H/ 1038-1123 M) dengan teori geometri dan persamaan kubik; Ibn Khaldun
(733-809 H/ 1332-1406 M) dengan sejarah, sosiologi dan antropologi dan
sebagainya bermunculan dan meramaikan suasana ilmiah pada masa ini karena
dukungan latar belakang ekonomi-sosial-politik.
C.
Contoh Corak Tafsir ‘Ilmi
Buku Memahami Surat Yaasin karya Radiks Purba menguraikan QS.
Yaasin: 37-38 tentang pergantian siang dan malam dengan mengutip hasil
observasi pakar antariksa:
..........yang memeberikan kesimpulan bahwa bumi beredar
mengelilingi matahari melalui garis edar berbentuk ellips dengan jarak
rata-rata 149,6 juta kilometer dari matahari ini disebut revolusi dengan
kecepatan rata-rata 18 mil/ detik (30 km/detik). Selain berevolusi bumi juga
berputar pada sumbunya (rotasi) dengan kecepatan sekitar 1000 mil/jam. Rotasi
bumi pada sumbunya membentuk sudut 23,5 derajat dengan garis tegak lurus pada
bidang edar bumi. Bumi berputar pada sumbunya sambil mengelilingi matahari. Maka
secara bergantian permukaan bumi menghadap ke matahari. Permukaan buni yang
menghadap matahari menjadi terang disinari oleh matahari sedangkan permukaan
bumi yang membelakangi matahari menjadi gelap karena tidak mendapa cahaya
matahari....[10]
Penggunaan metode tafsir ini setidaknya memuat dua hal, pertama
menjadikan teks al-Qur’an sebagai justifikasi bahwa al-Qur’an nyata telah
memberikan isyarat mengenai ilmu alam, sains, teknologi, dan sebagainya. Kedua,
penemuan sains ilmiah dijadikan variabel penguat bahwa al-Qur’an memang ilmiah.
D.
Penutup
Tafsir
‘ilmi adalah tafsir yang berupaya mengungkap tabir ilmu pengetahuan dari
ayat-ayat al-Qur’an. Kemunculan tafsir ini pada dasarnya telah ada pada zaman
kekhalifahan Dinasti Abbasiyah dimana telah mengalami kemajuan ilmu
pengetahuan. Memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an adalah salah satu contoh dari usaha
pengejawantahan metode tafsir saintis. Dalam metode penafsiran ini, terdapat
beberapa kriteria: pertama, lebih menekankan pada penemuan-penemuan sains dan
menjadikannya sebaga tolok ukur memahami ayat-ayat al-Qur’an. Kedua, Penyerupaan.
Ketiga, tidak menghiraukan kriteria-kriteria teologis dan kondisi yang ada pada
saat ayat turun. Terakhir, mempersiapkan kemunculan aliran pemikiran
eklektis dan penafsiran material terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Hanya
saja, dua kriteria terakhir ini hanya mendominasi mayoritas metode penafsiran
saintis ini, bukan seluruhnya.
[1] Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir
al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 136-137.
[2] Islah Gusmian,
Khazanah Tafsir Indonesia, (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hlm.226.
[3] Abdul Majid
Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer,
(Bangil: al-Izzah, 1997), terj. Moh. Maghfur Wachid, hlm.258.
[5] Quraisy
Shihab, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)
hlm. 183
[6]
Islah Gusmian, Khazanah
Tafsir Indonesia, hlm.227.
[7]
Dikutip dari Khazanah
Tafsir Indonesia, lihat Moch Nur Ikhwan, Pahamilah al-Qur’an Sesuai
Konteks Narasinya, Ummat No.1, IV 13
Juli tahun 1998, hlm.62-63.
[8]
Abdul Mustaqim,
hlm.137
[9] Sayid Musa Husaini. Metode Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku
Tafsir Modern.(online) (http://quran.al-shia.com/id/metode/01.htm. di akses: 11 Des 2010)
[10] Radiks Purba, Memahami
Surat Yaasin, hlm.137-165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar