Selasa, 07 Mei 2013

Tafsir 'Ilmiy

CORAK TAFSIR ‘ILMI
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Madzahib at-Tafsir
Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Baidhawi, M.Ag


Oleh:
Siti Mariatul Kibtiyah
NIM.10530071


JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2012

BAB I
PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya al-Qur’an adalah kitab suci yang menetapkan masalah akidah dan hidayah, hukum syari’at dan akhlak. Bersamaan dengan hal itu, di dalamnya didapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakikat (kenyataan) ilmiah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari, membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin telah berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an, dan di kemudian hari usaha ini semakin meluas, dan tidak ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang banyak faedahnya.
Munculnya corak tafsir ilmi dalam khazanah inteleklual Islam merupakan respons terhadap ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an agar senantiasa tetap relevan dengan perkembangan zaman. Selain itu, tafsir ilmi juga berupaya memperbaiki pengetahuan seseorang yang telah ada dan membuka tabir makna ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang belum mampu dipahami oleh umat sebelumnya secara baik.
Dengan perkembangannya, tafsir ilmi selalu mengajak umat Islam ungtuk senantiasa mengupas ilmu pengetahuan yang sebetulnya sudah terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an. Walaupun demikian nampaknya masih terdapat para ulama yang tidak menyepakati hadirnya corak tafsir ilmi lantaran sebab-sebab tertentu. Ilmu pengetahuan memang akan selalu mengalami perkembangan. Dan ayat Al-Qur’an yang pada saat ini telah serasi dengan penemuan ilmiah, jika nantinya ada anomali ilmu pengetahuan, maka dikhawatirkan aya al-Qur’an dianggap tidak relevan lagi. Untuk itulah, dalam tulisan ringan ini mencoba menguraikan seputar corak tafsir ilmi dan perkembangannya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ilmi terdiri dari dua akar kata, yaitu at-tafsir dan al-‘ilm. Kata tafsir dalam al-Qur’an bermakna penjelasan atau perincian. Sedangkan kata ‘ilm dan berbagai derivasinya kerap digunakan dalam al-Qur’an dalam arti umum pengetahuan (knowledge), termasuk untuk sains dan ilmu-ilmu kemanusiaan (sciences of nature and humanities). Selain itu, kata ‘ilm dalam al-Qur’an juga digunakan untuk pengetahuan yang diwahyukan (revealed) sekaligus digunakan untuk pengetahuan yang diperoleh di luar wahyu (acquired). Dengan demikian, berdasarkan pandangan al-Qur’an, terminologi ilmu tak terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, tetapi segala bentuk ilmu ilmu, baik ilmu alam, ilmu sosial, humaniora, dan ilmu lainnya yang dapat dipergunakan untuk kemaslahatan umat manusia.
Dalam beberapa literatur, pengertian tafsir ilmi adalah suatu corak tafsir yang menggunakan pendekatan teori-teori ilmiah untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, tafsir ilmi merupakan corak penafsiran yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori ilmiah dan pemikiran filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan kata lain, tafsir ilmi disamping sebagai alat justifikasi dan mengkompromikan teori-teori ilmu pengetahuan dengan al-Qur’an, juga bertujuan untuk mendeduksi teori-teori ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri.[1] Pengertian lain ditemukan bahwa, yang dimaksud tafsir ilmi adalah pemahaman atas teks al-Qur’an dengan menggunakan data hasil observasi ilmiah sebagai variabel penjelas. Dalam tradisi tafsir, hal ini misalnya dapat dijumpai pada tafsirnya Thanthawi Jawhari yang menggunakan berbagai data ilmiah sebagai variabel dalam menjelaskan ayat al-Qur’an.[2] Selain itu, Tafsir ‘ilmi atau ilmiah juga diartikan sebagai tafsir yang penulisnya hendak mengembalikan statemen-statemen al-Qur’an pada teori-teori dan terminologi-terminologi ilmiah. Penulisnya berusaha sekuat tenaga untuk menggali berbagai masalah sains dan pandangan-pandangan filsafat dari statemen-statemen al-Qur’an tersebut.[3]
Selain tafsir ilmi, juga digunakan istilah tafsir kauniah. Kata kauniah berasal dari akar kata al-kaun, yang lebih kurang memiliki arti yang dijadikan, makhluk, dan alam semesta. Berdasarkan makna bahasa tersebut, tafsir kauniah dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberi penafsiran yang bersifat ilmu pengetahuan kepada ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir kauniah menggunakan temuan-temuan ilmiah untuk menafsirkan makna dan maksud dari suatu ayat al-Qur’an Ayat-ayat kauniah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, data, atau setidaknya mengandung isyarat ilmiah. Selain itu, ayat-ayat yang sepintas lalu terlihat seperti bukan ayat kauniah, sesungguhnya juga dapat dikategorikan sebagai ayat-ayat kauniah, misalnya ayat-ayat yang membicarakan sifat munafik (hyrocrisy). Ayat-ayat tersebut dapat ditafsirkan secara ilmiah dengan memandang kemunafikan sebagai penyakit jiwa. [4]
Kaedah penafsiran tafsir ‘ilmi ini lebih kepada petunjuk melalui kajian sains dan bukannya menggunakan ijtihad melalui akal. Oleh sebab itu, ada ulama’ tafsir memasukkan tafsir ilmi ini dalam tafsir isyari. Tafsir ilmi adalah berasaskan kepada penerangan dan penjelasan melalui isyarat dari pada al-Quran sendiri yang menunjukkan kepada kehebatan ciptaan Allah Swt. Allah berfirman:
 
Akan Kami tunjukkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di segenap ufuk (penjuru) dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas kepada mereka bahawa al-Quran itu benar. (Surah Fussilat: ayat 53).
Dalam kitab Tafsir al-Quran al-‘Azim, al-Imam Ibn Kathir berkata, “(Allah) akan tunjukkan bukti-bukti serta dalil-dalil di alam ini yang menunjukkan bahwa al-Quran ini adalah benar.” Untuk menerangkan dan mengeluarkan bukti serta dalil dari pada alam, sains diperlukan.
Seterusnya, berhubung dengan firman Allah yang bermaksud, “Dan pada diri mereka sendiri,” Imam Ibn Kathir berkata, “Berkemungkinan yang dimaksudkan oleh ayat ini ialah apa yang terdapat dalam tubuh badan manusia yang menakjubkan, sebagaimana yang dapat dilihat dalam ilmu tasyrih (anatomi). Kesemua ini akan menampakkan kebijaksanaan Yang Maha Pencipta”. Untuk mengenali organ serta memahami sistem yang terdapat dalam tubuh manusia, sains juga diperlukan.[5]
Upaya menjelaskan ayat al-Qur’an dengan metode ilmiah ini dapat dipahami mengingat dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak isyarat ilmiah. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah manakah yang lebih dahulu; pemahaman ilmiah baru dicarikan justifikasi pada al-Qur’an ataukah pemahaman al-Qur’an yang kemudian mendorong riset keilmuan?. Tampaknya, yang pertama itulah yang sering terjadi selama ini. Dalam konteks ini muncul problem krusial yakni bagaimana bila teori ilmiah yang dijadikan penjelas tadinya diyakini telah final dan berkesesuaian dengan al-Qur’an, ternyata mengalami anomali dan tidak valid lagi, sebab, penemuan ilmiah tidak saja terus berkembang, tapi juga berubah.[6] Maka jika demikian, posisi teks al-Qur’an akan kehilangan relevansinya.
Terlepas dari itu, harus dicatat bahwa al-Qur’an bukanlah buku sains ataupun teknik. Al-Qur’an bukanlah dimaksudkan untuk menjawab semua problem manusia. banyak hal yang dapat diperoleh di luar al-Qur’an. Oleh karena itu, menafsirkan al-Qur’an bukanlah untuk memenuhi kebutuhan aktual dan tekknik melainkan berupaya berdialog dengannya untuk melihat bagaimana pandangan-pandangannya.[7]

B.     Sejarah Perkembangan Corak Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ilmi pada mulanya dibangun bedasarkan asumsi bahwa al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah mapan maupun yang belum ditemukan. Al-Qur’an selain tidak bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan, tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama melainkan juga ilmu-imu dunia (ilmu pengetahuan).[8]
Secara historis, kemunculan penafsiran model ini banyak dikaitkan dengan masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid (169-194 H/ 785-809 M) dan al-Makmun (198-215 H/ 813-830 M) di mana terjadi perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, termasuk trend penerjemahan buku-buku ilmiah karena terjadinya interaksi dunia Islam atau Arab dengan dunia luar (Yunani). Munculnya kecenderungan ini sebagai akibat pada penerjemahan kitab-kitab ilmiah yang pada mulanya dimaksudkan untuk mencoba mencari hubungan dan kecocokan antara pernyataan yang diungkapkan di dalam al-Qur’an dengan hasil penemuan ilmiah (sains). Gagasan ini selanjutnya ditekuni oleh imam al-Ghazali dan ulama-ulama lain yang sependapat dengan dia. Rekaman akan fenomena ini antara lain dituangkan oleh Fahru al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib.[9]
Tokoh-tokoh sains muslim seperti al-Kindi (185-260 H/ 801-873) dengan logika, matematika dan fisikanya; Al-Razi (251-313 H/ 865-925 M) dengan filsafat dan kedokteran; Ibn al-Haytam  (354-431 H/ 965-1039 M) lensa dan refraksi cahaya; Ibn Sina (370-429 H/ 980-1037 M) dengan kedokteran, filsafat dan logika; Umar Khayam (430-517 H/ 1038-1123 M) dengan teori geometri dan persamaan kubik; Ibn Khaldun (733-809 H/ 1332-1406 M) dengan sejarah, sosiologi dan antropologi dan sebagainya bermunculan dan meramaikan suasana ilmiah pada masa ini karena dukungan latar belakang ekonomi-sosial-politik.

C.    Contoh Corak Tafsir ‘Ilmi
Buku Memahami Surat Yaasin karya Radiks Purba menguraikan QS. Yaasin: 37-38 tentang pergantian siang dan malam dengan mengutip hasil observasi pakar antariksa:
..........yang memeberikan kesimpulan bahwa bumi beredar mengelilingi matahari melalui garis edar berbentuk ellips dengan jarak rata-rata 149,6 juta kilometer dari matahari ini disebut revolusi dengan kecepatan rata-rata 18 mil/ detik (30 km/detik). Selain berevolusi bumi juga berputar pada sumbunya (rotasi) dengan kecepatan sekitar 1000 mil/jam. Rotasi bumi pada sumbunya membentuk sudut 23,5 derajat dengan garis tegak lurus pada bidang edar bumi. Bumi berputar pada sumbunya sambil mengelilingi matahari. Maka secara bergantian permukaan bumi menghadap ke matahari. Permukaan buni yang menghadap matahari menjadi terang disinari oleh matahari sedangkan permukaan bumi yang membelakangi matahari menjadi gelap karena tidak mendapa cahaya matahari....[10]
Penggunaan metode tafsir ini setidaknya memuat dua hal, pertama menjadikan teks al-Qur’an sebagai justifikasi bahwa al-Qur’an nyata telah memberikan isyarat mengenai ilmu alam, sains, teknologi, dan sebagainya. Kedua, penemuan sains ilmiah dijadikan variabel penguat bahwa al-Qur’an memang ilmiah.

D.    Penutup
Tafsir ‘ilmi adalah tafsir yang berupaya mengungkap tabir ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an. Kemunculan tafsir ini pada dasarnya telah ada pada zaman kekhalifahan Dinasti Abbasiyah dimana telah mengalami kemajuan ilmu pengetahuan.  Memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an adalah salah satu contoh dari usaha pengejawantahan metode tafsir saintis. Dalam metode penafsiran ini, terdapat beberapa kriteria: pertama, lebih menekankan pada penemuan-penemuan sains dan menjadikannya sebaga tolok ukur memahami ayat-ayat al-Qur’an. Kedua, Penyerupaan. Ketiga, tidak menghiraukan kriteria-kriteria teologis dan kondisi yang ada pada saat ayat turun. Terakhir, mempersiapkan kemunculan aliran pemikiran  eklektis  dan penafsiran material terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Hanya saja, dua kriteria terakhir ini hanya mendominasi mayoritas metode penafsiran saintis ini, bukan seluruhnya.


[1] Abdul Mustaqim,  Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 136-137.

[2] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hlm.226.

[3] Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer, (Bangil: al-Izzah, 1997), terj. Moh. Maghfur Wachid, hlm.258.

[4] Yusriandi Pagarah, http://suakakata.blogspot.com diakses pada 10 Desember 2012

[5] Quraisy Shihab, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) hlm. 183

[6] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hlm.227.

[7] Dikutip dari Khazanah Tafsir Indonesia, lihat Moch Nur Ikhwan, Pahamilah al-Qur’an Sesuai Konteks Narasinya, Ummat  No.1, IV 13 Juli tahun 1998, hlm.62-63.

[8] Abdul Mustaqim,  hlm.137

[9] Sayid Musa Husaini. Metode Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir Modern.(online) (http://quran.al-shia.com/id/metode/01.htm. di akses: 11 Des 2010)

[10] Radiks Purba, Memahami Surat Yaasin, hlm.137-165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar