Hari pendidikan nasional (Hardiknas) ada di depan mata. Hari yang
menjadi saksi sekaligus sejarah pendidikan bangsa negeri ini kembali hadir
dengan wajah barunya. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, suram seakan
menggelembung dalam benak masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa
event terkait pendidikan belakangan ini yang terkesan amburadul. Tampaknya
tidak dapat disesali bahwa hardiknas kali ini disuguhi rapor merah sebagai
hasil olah sistem pendidikan yang ada.
Sebut saja Ujian Nasional (UN) yang belum rampung ini. Kegagalan pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) tingkat SMU pada bulan April lalu merupakan satu pertanda
buruknya pendidikan di negeri ini. Sejumlah problematika muncul beriringan dengan
jadwal UN tahun ini. Lucunya, ada penundaan UN diberbagai sekolah sebab soal
belum sampai di tempat tujuan. Kabar yang tak jelas terkait kapan soal-soal itu
didistribusikan ke sekolah juga turut menghampiri. Alhasil, beberapa guru dan
murid ngambek dan merasa jengkel dengan
sistem UN yang ada dihadapan mereka.
Berbagai teguran, kritik, hingga cemoohan muncul di media terkait
hal ini. Bahkan menteri pendidikan, M. Nuh pun mau tak mau harus terseret
namanya untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya. Satu hal yang menjadi alasan
adalah tender. Percetakan soal pun ujung-ujungnya dikambing-hitamkan. Tak hanya
itu, aksi saling menuding kemudian terjadi di antara mereka. Menghadapi hal
ini, lagi-lagi menteri pendidikan tidak mau mengevaluasi diri. Kebingungan seolah
terjadi dan tanpa tindakan untuk mengatasinya. Masyarakat pun menuding ada
indikasi politik beserta korupsi dalam wadah UN. Masyarakat menilai tidak layak
dan meminta mundur menteri pendidikan.
Menilik Ulang Pesan Bapak Pendidikan
Pendidikan bukanlah ajang untuk mencari keuntungan. Pendidikan juga
bukan sarana permainan politik elit penguasa. Akan tetapi pendidikan adalah
upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara jujur, adil, dan tanggung
jawab. Dalam upaya ini, pendidikan kurang pantas jika diboncengi kepentingan
apapun. Seperti di negara ini, pendidikan bukan lagi menjadi bidang khusus yang
independen. Sebaliknya, oleh oknum-oknumnya, pendidikan justru selalu
mengupayakan adanya perselingkuhan dengan kepentingan politik, ekonomi, dan
kepentingan tertentu.
Padahal, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara telah
menekankan, bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya
budi pekerti dan pikiran. Selain itu, Undang-undang No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dengan tegas juga menggariskan, “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa...”.
Bapak pendidikan juga pernah berpesan melalui apa yang beliau lakukan
di ranah pendidikan. Hal ini sesungguhnya telah banyak dihafal oleh oknum
pendidikan kita dan masyarakat luas. Misalnya, piwulang Ing Ngarsa Sung
Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Pelajaran yang dapat
diambil adalah berbasis keteladanan, perhatian, dan motivasi (support). Seorang
pendidik selain ia harus mampu memberi teladan, ia juga harus menjadi orang tua
sekaligus sahabat yang selalu memberi perhatian dan semangat melakukan
kebaikan.
Lain halnya dengan pendidik bangsa Indonesia dewasa ini. Sejumlah
guru justru melupakan semua pesan tersebut. Mereka nekad memenggal masa depan
siswanya dengan melakukan tindak pemerkosaan. Seorang dosen rela memperjual
belikan mahasiswanya dengan pejabat nakal demi meraih keuntungan. Terlebih,
seorang menteri pendidikan yang tidak siap dengan amanahnya memajukan
pendidikan di negeri ini. Pertanyaannya, dimana sekarang pesan dari Bapak
pendidikan yang luhur tersebut?.
Di sisi lain, banyak pula para pengajar yang justru mengajarkan
kebohongan pada anak didiknya. UN yang diberikan standarisasi kelulusan bukan
meningkatkan kejujuran siswa dalam berprestasi, melainkan meningkatkan
kebohongan publik secara berjamaah. Siapa yang bisa percaya bahwa hasil UN
setiap siswa adalah murni dari pendahayagunaan otaknya jika sang guru teah
membentuk tim secara khusus untuk membantu siswa-siswinya dalam pelaksanaan UN.
Apapun yang dilakukan guru, masyarakat tidak dapat menghentikannya.
Terlebih, masyarakat adalah bagian dari pelaku sekaligus korban dari kebiasaan
yang terjadi tersebut. Bahkan pemerintah tidak dapat turun tangan mengatasi hal
demikian. Seolah-olah sistem yang diadakan memang begitu adanya. UN yang
diharapkan mampu merangking kemampuan siswa di tingkat daerahnya, tak lebih
hanyalah sebuah upaya merangking tingkat kebobrokan moral pendidikan melalui
kebohongan-kebohongan yang dilakukan oknum pendidikan.
Skeptisisme pendidikan
Apa yang disebut sebagai skeptisisme pendidikan adalah sikap
ragu-ragu terhadap pendidikan yang terdapat di suatu negara. Skeptisisme
sesungguhnya mengajarkan keragu-raguan dalam upaya memperoleh kebenaran
pengetahuan. Sejarah mencatat bahwa skeptisisme muncul di Barat pada era
modern. Dalam Islam, Al-Ghazali dinilai sebagai pemilik skeptisisme. Namun,
pemikiran skeptisismenya berbeda dengan skeptisisme Barat. Merujuk pada
kitabnya al-Munkiz min al-Dalal ia mengisahkan perjalanan intelektualnya
dari belajar ilmu kalam, ajaran ta’limiyah, filsafat, dan yang terakhir
tasawuf. Mulai dari ilmu kalam hingga filsafat itu, al-Ghazali belum mendapatkan
kepuasan sama sekali. Barulah merasa puas setelah mendalami tasawuf.
Sedikit berbeda dengan konteks Indonesia. Al-Ghazali skeptis karena
ilmunya, sedangkan masyarakat Indonesia skeptis karena sistem pendidikannya. Entah
sampai kapan sistem pendidikan yang kacau ini terhenti dan berubah menjadi
sistem yang diharapkan banyak pihak. Saat ini, jika diberikan angket, setiap
orang di negeri ini akan memberikan harapannya untuk pendidikan kedepan. Namun
bukan itu yang dibutuhkan dalam pendidikan di Indonesia. Indonesia tidak butuh
banyak orang untuk berbicara soal rencana pendidikan kedepan. Toh, nyatanya
berjuta cendekiawan dan ilmuwan di Indonesia belum mampu mengarahkan pendidikan
yang baik untuk anak bangsa.
Indonesia, dengan jumlah mahasiswa yang setiap tahunnya meningkat
dan secara otomatis menambah kuota kaum berpendidikan masih saja belum berefek
positif bagi bangsa. Untuk itulah muncul skeptisisme pendidikan. Hal ini memang
tidak dapat dipungkiri sebab pendidikan kita sedang kolaps dan tak terarah.
Seperti yang telah menjadi rahasia umum, untuk daftar di sebuah sekolah
lanjutan, ketika nilai akhirnya tidak memenuhi standar yang ditetapkan pada
sekolah terkait, calon siswa tetap bisa diterima dengan syarat beberapa buah
“apel malang”. Itu adalah pembelajaran dari orang tua sekaligus oknum sekolah.
Pembelajaran yang tak baik dari guru tampak pada kasus
ketidak-jujuran UN yang terlampau biasa terjadi diberbagai sekolah. Lucunya,
beberapa oknum di dinas pendidikan menjadi pelopor terjadinya kecurangan UN
dengan menyelipkan soal dan memperdagangkan kunci jawaban soal ujian kepada
sejumlah kepala sekolah dan guru. Ironisnya, walaupun dengan harga yang tinggi,
kunci jawaban itu pun laku terjual demi kehormatan sekolah yang mampu
meluluskan siswa-siswinya di Ujian Nasional yang menyeramkan tersebut.
Tak hanya di sekolah yang
menunjuk siswa sebagai pelaku, bagi mahasiswa, kejujuran membuat karya tulis
juga sering terpatahkan dengan kasus plagiasi. Persoalan plagiasi bahkan tak
bisa dihindari mahasiswa baik diploma, strata, magister, maupun doktor. Bahkan
di ranah pemerintahan, ketidak-jujuran para oknum pendidikan terkait dengan
bantuan dan beasiswa juga turut mewarnai kelamnya pendidikan negara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar