Selasa, 07 Mei 2013

Rapor Merah Hardiknas 2013


Hari pendidikan nasional (Hardiknas) ada di depan mata. Hari yang menjadi saksi sekaligus sejarah pendidikan bangsa negeri ini kembali hadir dengan wajah barunya. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, suram seakan menggelembung dalam benak masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa event terkait pendidikan belakangan ini yang terkesan amburadul. Tampaknya tidak dapat disesali bahwa hardiknas kali ini disuguhi rapor merah sebagai hasil olah sistem pendidikan yang ada.
Sebut saja Ujian Nasional (UN) yang belum rampung ini. Kegagalan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat SMU pada bulan April lalu merupakan satu pertanda buruknya pendidikan di negeri ini. Sejumlah problematika muncul beriringan dengan jadwal UN tahun ini. Lucunya, ada penundaan UN diberbagai sekolah sebab soal belum sampai di tempat tujuan. Kabar yang tak jelas terkait kapan soal-soal itu didistribusikan ke sekolah juga turut menghampiri. Alhasil, beberapa guru dan murid ngambek dan merasa jengkel dengan  sistem UN yang ada dihadapan mereka.
Berbagai teguran, kritik, hingga cemoohan muncul di media terkait hal ini. Bahkan menteri pendidikan, M. Nuh pun mau tak mau harus terseret namanya untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya. Satu hal yang menjadi alasan adalah tender. Percetakan soal pun ujung-ujungnya dikambing-hitamkan. Tak hanya itu, aksi saling menuding kemudian terjadi di antara mereka. Menghadapi hal ini, lagi-lagi menteri pendidikan tidak mau mengevaluasi diri. Kebingungan seolah terjadi dan tanpa tindakan untuk mengatasinya. Masyarakat pun menuding ada indikasi politik beserta korupsi dalam wadah UN. Masyarakat menilai tidak layak dan meminta mundur menteri pendidikan.
Menilik Ulang Pesan Bapak Pendidikan
Pendidikan bukanlah ajang untuk mencari keuntungan. Pendidikan juga bukan sarana permainan politik elit penguasa. Akan tetapi pendidikan adalah upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara jujur, adil, dan tanggung jawab. Dalam upaya ini, pendidikan kurang pantas jika diboncengi kepentingan apapun. Seperti di negara ini, pendidikan bukan lagi menjadi bidang khusus yang independen. Sebaliknya, oleh oknum-oknumnya, pendidikan justru selalu mengupayakan adanya perselingkuhan dengan kepentingan politik, ekonomi, dan kepentingan tertentu.
Padahal, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara telah menekankan, bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti dan pikiran. Selain itu, Undang-undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas juga menggariskan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa...”.
Bapak pendidikan juga pernah berpesan melalui apa yang beliau lakukan di ranah pendidikan. Hal ini sesungguhnya telah banyak dihafal oleh oknum pendidikan kita dan masyarakat luas. Misalnya, piwulang Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Pelajaran yang dapat diambil adalah berbasis keteladanan, perhatian, dan motivasi (support). Seorang pendidik selain ia harus mampu memberi teladan, ia juga harus menjadi orang tua sekaligus sahabat yang selalu memberi perhatian dan semangat melakukan kebaikan.
Lain halnya dengan pendidik bangsa Indonesia dewasa ini. Sejumlah guru justru melupakan semua pesan tersebut. Mereka nekad memenggal masa depan siswanya dengan melakukan tindak pemerkosaan. Seorang dosen rela memperjual belikan mahasiswanya dengan pejabat nakal demi meraih keuntungan. Terlebih, seorang menteri pendidikan yang tidak siap dengan amanahnya memajukan pendidikan di negeri ini. Pertanyaannya, dimana sekarang pesan dari Bapak pendidikan yang luhur tersebut?.
Di sisi lain, banyak pula para pengajar yang justru mengajarkan kebohongan pada anak didiknya. UN yang diberikan standarisasi kelulusan bukan meningkatkan kejujuran siswa dalam berprestasi, melainkan meningkatkan kebohongan publik secara berjamaah. Siapa yang bisa percaya bahwa hasil UN setiap siswa adalah murni dari pendahayagunaan otaknya jika sang guru teah membentuk tim secara khusus untuk membantu siswa-siswinya dalam pelaksanaan UN.
Apapun yang dilakukan guru, masyarakat tidak dapat menghentikannya. Terlebih, masyarakat adalah bagian dari pelaku sekaligus korban dari kebiasaan yang terjadi tersebut. Bahkan pemerintah tidak dapat turun tangan mengatasi hal demikian. Seolah-olah sistem yang diadakan memang begitu adanya. UN yang diharapkan mampu merangking kemampuan siswa di tingkat daerahnya, tak lebih hanyalah sebuah upaya merangking tingkat kebobrokan moral pendidikan melalui kebohongan-kebohongan yang dilakukan oknum pendidikan.
Skeptisisme pendidikan
Apa yang disebut sebagai skeptisisme pendidikan adalah sikap ragu-ragu terhadap pendidikan yang terdapat di suatu negara. Skeptisisme sesungguhnya mengajarkan keragu-raguan dalam upaya memperoleh kebenaran pengetahuan. Sejarah mencatat bahwa skeptisisme muncul di Barat pada era modern. Dalam Islam, Al-Ghazali dinilai sebagai pemilik skeptisisme. Namun, pemikiran skeptisismenya berbeda dengan skeptisisme Barat. Merujuk pada kitabnya al-Munkiz min al-Dalal ia mengisahkan perjalanan intelektualnya dari belajar ilmu kalam, ajaran ta’limiyah, filsafat, dan yang terakhir tasawuf. Mulai dari ilmu kalam hingga filsafat itu, al-Ghazali belum mendapatkan kepuasan sama sekali. Barulah merasa puas setelah mendalami tasawuf.
Sedikit berbeda dengan konteks Indonesia. Al-Ghazali skeptis karena ilmunya, sedangkan masyarakat Indonesia skeptis karena sistem pendidikannya. Entah sampai kapan sistem pendidikan yang kacau ini terhenti dan berubah menjadi sistem yang diharapkan banyak pihak. Saat ini, jika diberikan angket, setiap orang di negeri ini akan memberikan harapannya untuk pendidikan kedepan. Namun bukan itu yang dibutuhkan dalam pendidikan di Indonesia. Indonesia tidak butuh banyak orang untuk berbicara soal rencana pendidikan kedepan. Toh, nyatanya berjuta cendekiawan dan ilmuwan di Indonesia belum mampu mengarahkan pendidikan yang baik untuk anak bangsa.
Indonesia, dengan jumlah mahasiswa yang setiap tahunnya meningkat dan secara otomatis menambah kuota kaum berpendidikan masih saja belum berefek positif bagi bangsa. Untuk itulah muncul skeptisisme pendidikan. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri sebab pendidikan kita sedang kolaps dan tak terarah. Seperti yang telah menjadi rahasia umum, untuk daftar di sebuah sekolah lanjutan, ketika nilai akhirnya tidak memenuhi standar yang ditetapkan pada sekolah terkait, calon siswa tetap bisa diterima dengan syarat beberapa buah “apel malang”. Itu adalah pembelajaran dari orang tua sekaligus oknum sekolah.
Pembelajaran yang tak baik dari guru tampak pada kasus ketidak-jujuran UN yang terlampau biasa terjadi diberbagai sekolah. Lucunya, beberapa oknum di dinas pendidikan menjadi pelopor terjadinya kecurangan UN dengan menyelipkan soal dan memperdagangkan kunci jawaban soal ujian kepada sejumlah kepala sekolah dan guru. Ironisnya, walaupun dengan harga yang tinggi, kunci jawaban itu pun laku terjual demi kehormatan sekolah yang mampu meluluskan siswa-siswinya di Ujian Nasional yang menyeramkan tersebut.
 Tak hanya di sekolah yang menunjuk siswa sebagai pelaku, bagi mahasiswa, kejujuran membuat karya tulis juga sering terpatahkan dengan kasus plagiasi. Persoalan plagiasi bahkan tak bisa dihindari mahasiswa baik diploma, strata, magister, maupun doktor. Bahkan di ranah pemerintahan, ketidak-jujuran para oknum pendidikan terkait dengan bantuan dan beasiswa juga turut mewarnai kelamnya pendidikan negara Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar