PENDAHULUAN
" Akankah kita habiskan umur kita dan menghentikan petikan
gitar, ataukah kita akan terus memainkannya?”. Saya lebih
memilih untuk terus memainkan gitar dan bukan menghentikannya. (Dikutip dari
pernyataan Syahrur dalam al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah, terj.
hlm.290)
Tidak dapat
dipungkiri bahwa kajian al-Qur’an dari waktu ke waktu selalu mengalami
perkembangan. Perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya sejumlah
akademisi yang menawarkan gagasan-gagasan baru dalam metodologi pemahaman
terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an yang disebut sebagai shalih li kulli zaman wa
makan oleh Muhammad Syahrur, sejatinya selamanya akan membisu tanpa campur
tangan manusia sebagai reader. Untuk itulah, sebagai reader perlu
adanya upaya pembacaan al-Qur’an yang komprehensif juga tidak otoritatif.
Al-Qur’an sebagai kitab universal sudah semestinya tidak dimanipulasi
penafsirannya dalam segala konteks dan ruang tertentu, melainkan bagaimana
penafsiran terhadap al-Qur’an selalu beiringan dengan konteks ruang dan waktu
yang sesuai dengan zamannya.
Dalam
perkembangan metodologi studi al-Qur’an muncul alat bantu memahami al-Qur’an
disamping tafsir, yaitu hermeneutika. Pada dasarnya keduanya hampir sama,
bahkan oleh sebagian orang, hermeneutika dimiripkan dengan ta’wil.
Hermeneutika yang diusung seorang tokoh boleh jadi berbeda dengan tokoh lain,
tergantung pada metodologinya, hal ini pun juga terdapat dalam setiap
penafsiran. Dalam pemikirannya, Syahrur berangkat dari dua hal. Pertama, adanya
gerakan Nasserisme[1]
yang memproyeksikan suatu upaya mencari cara untuk memperkokoh eksistensi dan
kedudukan mereka di dunia dan masa kini yang sama sekali berbeda dengan dunia
dan masa sebelumnya. Oleh Syahrur, gerakan ini disebut sebagai gerakan yang
mengusung modernitas sebagai lawan dari gerakan tradisi. Kedua, kekalahan
bangsa Arab terhadap Israel. Dengan kedua hal tersebut mendorong Syahrur untuk
melakukan pembacaan ulang ata al-Qur’an dengan model kontemporer sebagai respon
terhadap pembacaan hegemonik, sebab, selama ini yang terjadi dalam pemikiran
Islam_meminjam istilah Nasr_adalah pembacaan repetitif bukan pembacaan
produktif. Pemahaman dan sikap secara proporsional terhadap tradisi dan
modernitas akan menentukan terhadap keterjebakan dalam bersikap yang cenderung
enggan berinteraksi dengan dunia kontemporer sehingga mengalami alinasi dari
dunianya sendiri dan menyebabkan agama menjadi tidak realistis.
Nah, pemikiran
Syahrur tidak terlepas dari apa yang disebut dengan tradisi dan modernitas. Syahrur
menginginkan bahwa untuk memahami teks al-Qur’an tidak perlu melulu
mengunggulkan penafsiran mufassir tradisional, akan tetapi al-Qur’an semestinya
ditafsirkan sebagaimana zamannya. Tradisi merupakan suatu hal yang telah hidup
bersama sejarah, namun tradisi perlu dibangun menjadi modernitas untuk
disesuaikan dengan zaman, sebab zaman selalu terkait dengan kebutuhan. Tentu
akan menjadi tidak realistis jika hanya berpegang teguh pada penafsiran
tradisional di era modern seperti sekarang ini yang memungkinkan membuka lorong
pemikiran yang lebih luas. Terlebih, al-Qur’an dalam kacamata Syahrur
merupakan subject of interpretation. Jadi, dalam melakukan aktivitas eksegetik
saat ini, umat Islam tidak harus terkungkung oleh produk penafsiran masa
klasik yang saat ini sudah tidak releven lagi dan karenanya beliau menganjurkan
untuk memperlakukan al-Qur’an seolah-olah baru turun, mengingat standar
validitas suatu penafsiran menurut Syahrur adalah kesesuaiannya dengan situasi
dan kondisi dimana dan kapan tafsir itu dimunculkan.[2]
Dengan
pendekatan hermeneutik yang ditawarkan, Syahrur telah mencoba mengaplikasikan
teorinya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an terutama dengan pengingkarannya
terhadap sinonimitas dan pemberlakuan teori batasnya. Terlepas dari aplikatif
tidaknya teori tersebut untuk menjamah keseluruhan ayat al-Qur’an, apa
yang diupayakan Syahrur adalah sebuah ijtihad agung yang perlu diapresiasi
sebab telah menawarkan produk pemikirannya yang menjadi alternatif penghindaran
dari kejumudan arah pandang tradisi menuju suatu modernitas, walaupun oleh
sekelompok orang dinilai kontroversial.
Untuk itulah
bagaimana cara kerja atau proyek hermeneutika syahrur yang sempat menggemparkan
sejumlah tokoh Muslim dunia, bagaimana dia bisa memunculkan gagasan-gagasan kritisnya,
dan sejauh mana teorinya dapat diaplikasikan pada ayat-ayat al-Qur’an, akan
dibahas pada tulisan singkat ini. Sebagai pengkaji, penulis berupaya tidak
terjebak dalam adu pro-kontra yang selama ini bertunas dalam merespon
pemikiran kreatif seorang Muhammad Syahrur.
PEMBAHASAN
Biografi
Syahrur
Ranumnya setiap
buah pemikiran tentu tidak akan pernah terlepas dengan sisi-sisi seorang tokoh
baik dari latar kehidupan; keluarga, pendidikan, juga setting sosial yang
melingkupi keberadaannya. Begitu pula dengan Syahrur. Latar kehidupannya,
beliau bernama lengkap Muhammad Syahrur al Dayyub. Lahir pada tanggal 11 April
1938 M di Damaskus, Suriah dari pasangan Deib ibnu Deib Syahrur dan Siddiqah
binti Salih Filyun. Beliau menempuh pendidikan dasar dan menengah di lembaga
pendidikan Abdurrahman al Kawakibi, Damaskus.
Dalam sejarah,
Syiria/ Suriah tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam
percaturan pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya maupun
intelektual. Diantara pemikir yang lahir di tempat ini adalah Musthafa
as-Siba’i, seorang ahli hadits yang konon pernah menjadi pengawas umum gerakan al-Ikhwanul
Muslimun dan Muhammad Sa’id Hawwa yang juga menjadi tokoh gerakan tersebut.
sementara itu di era kontemporer ini muncul tokoh-tokoh dari bumi yang sama,
yakni Aziz al-Azmeh, Adonis, dan sebagainya yang dikategorikan sebagai tokoh
gerakan sekularisme baru di dunia Arab.[3]
Pada tahun 1957
ia menyelesaikan pendidikan menengahnya dan mendapatkan beasiswa dari
pemerintah Suriah untuk melanjutkan studi dalam bidang teknik sipil di Moskow,
Rusia. Ia memperoleh gelar Diploma pada tahun 1964 dan melanjutkan studi ke
Universitas Nasional Irlandia dengan beasiswa dari Universitas Damaskus dalam
bidang spesialis mekanika pertahanan dan pondasi. Di sana beliau memperoleh
gelar Master of Science pada tahun 1969 dan gelar Philosophy Doctor pada tahun
1972 M. Hingga saat ini beliau masih menjadi dosen di fakultas Teknik Sipil
Universitas Damaskus dalam bidang Mekanika tanah dan Geologi. Selain itu beliau
juga medirikan biro konsultasi teknik Dar al Isytisyarat al Handasiyyah di
Damaskus. Beliau juga tertarik pada ilmu filsafat dan keIslaman, seperti :
Filsafat Humanisme, Filsafat Bahasa, dan Semantika Bahasa Arab. Keilmuan bahasa
inilah yang kemudian menjadi dasar beliau dalam membaca dan menafsirkan
ayat-ayat Al Qur’an.[4]
Karya-Karya
Syahrur
Dalam beberapa
karyanya, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip dan Dasar
Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, kemudian Dirasat Islamiyah
Mu’ashirah fi al Daulah wa al Mujtama’, Al Iman wa al Islam : Manzumat al
Qiyam, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami : Fiqh al Mar’ah, Masyru’ Mitsaq
al ‘amal al Islami diterjemahkan dengan judul Metodologi Fiqh Islam
Kontemporer, dan beberapa artikel tentang keIslaman lainnya, beliau
menjumpai sejumlah pro-kontra atas pemikirannya dari para tokoh dunia.
Proyek
Hermeneutika Syahrur
Sebagai
landasan proyek hermeneutikanya, ada tiga kunci dasar yang digunakan. Pertama, kainunah
(kondisi berada). Kedua, sairurah (kondisi berproses). Ketiga shairuurah
(kondisi menjadi). Ketiga kunci dasar tersebut akan selalu saling terkait
dan merupakan starting point dalam kajian apapun dalam filsafat termasuk
tentang ke-Tuhanan (theologi), alam (naturalistik), maupun manusia
(antropologi). Persoalan tentang ke-Tuhanan, alam, dan manusia sebagai suatu
yang ada/being/kainunah akan selalu mengalami kondisi berada (kainunah)
yang tidak terlepas dari perjalanan masa (sairurah) sebagai kondisi
berproses yang terus mengalami perkembangan dan perubahan dalam tiap
tahapannya, karena itulah akan selalu mengalami kondisi menjadi (shairuurah)
sebagai goal/tujuan.
Kainunah
atau being ( keberadaan) adalah
awal dari sesuatu yang ada; Sairurah (proses) adalah gerak perjalanan
masa; sementara shairuurah atau becoming (menjadi) adalah sesuatu
yang menjadi tujuan bagi “keberadaan pertama” setelah melalui “fase berproses”.[5]
Landasan dasar
di atas mengindikasikan adanya anjuran Syahrur untuk sadar sejarah dalam
memahami al-Qur’an terutama pada konsep sairurah_dalam bahasa Amin
Abdullah_sebagai cara baca historis. Karena bagaimanapun juga produk tafsir
beserta metodologinya adalah bagian dari eksistensi kainunah yang tak
lekang oleh perjalanan sejarah (sairurah) yang tentu harus
berkembang bahkan berubah sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan zaman, sehingga proyek metodologi dalam memahami
al-Qur’an sebagai “kondisi berproses” dari perjalanan tafsir sebagai upaya
pembumian al-Qur’an era klasik bisa jadi telah usang karena mengalami “kondisi
menjadi”.
Pengingkaran
Sinonimitas
Metodologi
yang diperkenalkan Syahrur dalam pemikirannya adalah pendekatan linguistik yang
disebut sebagai manhaj al-tarikhi. Awalnya beliau menggabungkan metode
linguistiknya Abu Ali al-Farisi, Ibnu Jinni, dan Abdul Qadir al-Jurjani. Akan
tetapi akhirnya beliau menyimpulkan tidak adanya sinonimitas dalam bahasa Arab
dan menjadikan Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Ibnu Faris sebagai
penganut ketiadaan sinonimitas sebagai referensi wajibnya. Ketiadaan
sinonimitas inilah kemudian menjadi salah satu dari prinsip metode
penafsirannya.
Menurutnya setiap
ungkapan dalam bahasa Arab memiliki makna yang independen. Tidak ada
kontektualisasi baik bagi teks, penerimaanya maupun penyusunanya. Dengan kata
lain al-Qur’an adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang
bediri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang
menjadi tujuan pewahyuan itu. Baginya konteks terpenting dalam memahami
al-qur’an adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup umat.
Pengingkaran
sinonimitas Syahrur berimplikasi pada redefinisi term-term yang selama ini
dianggap bersinonim, seperti al-kitab, al-Qur’an, al-Furqan, dan sebagainya.
Selain itu, juga berimplikasi pada klasifikasi al-Qur’an. Oleh Syahrur,
al-Qur’an terbagi menjadi dua; ayat-ayat dengan dimensi kenabian dan
kerisalahan. Dalam dimensi kenabian, terdapat ayat mutasyabih dan ayat la
muhkam wa la mutasyabih (Tafshil al-Kitab) yang dipahami berdasar pada “wa
ukharu mutasyabihat” bukan “wa al-ukharu mutasyabihat” karena
keduanya tentu sangat berbeda makna. Ayat mutasyabih juga terbagi
menjadi dua; al-Qur’an al-Adzim dan Sab’ul Matsani. Dari sisi kandungannya berisi tentang ayat
informasi baik tentang akidah, kisah, dan pengetahuan ilmiah sehingga tidak
dapat dirubah dan berada di luar lingkup ikhtiar manusia yang kemudian disebut
dengan qadar.
Ayat mutasyabih
termasuk dalam dimensi nubuwwah karena di dalamnya terdiri dari
ayat-ayat bayyinat (hukum alam objektif-empiris) yang bisa diterima oleh
semua kalangan. Ayat mutasyabih secara redaksional bercirikan tetap pada
bentuk tekstualnya serta berubah pada dan relatif pada aspek pemahamannya. Sedangkan ayat muhkam oleh Syahrur
disebut sebagai umm al-Kitab dan masuk pada dimensi kerisalahan sebagai
pentunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa dan pelengkap bagi pengetahuan yang
telah diwahyukan dalam dimensi nubuwwah[6].
Ayat muhkam terdiri atas ibadah, hukum, muamalah yang bersifat hududy/limit
atau memiliki variasi batasan dan tidak berbentuk legal-spesifik tekstual.
Teori Limit
Sejauh ini yang
beredar di pasar akademisi, jika menyebut seorang Syahrur, maka
sekan-akan tidak nyaman apabila belum meraba teori limitnya. Apa yang
dimaksud teori limit atau hududy adalah sebuah metode memahami ayat-ayat
hukum (muhkamat) sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer
agar ajaran al-Qur’an tetap relevan dan kontekstual sepanjang masih berada
dalam wilayah batas hukum Allah. Kontribusi dari teori ini sebagaimana dikutip
dari buku Epistemologi Tafsir Kontemporer; pertama, dengan teori limit,
ayat-ayat hukum yang selama ini dianggap final dan pasti tanpa ada alternatif
pemahaman lain ternyata memiliki kemungkinan untuk diinterpretasikan secara
baru dan Syahrur mampu menjelaskannya secara metodologis dan mengaplikasikannya
dalam penafsirannya melalui pendekatan
matematis.
Kedua, dengan
teori limit, seorang mufassir akan mampu menjaga sakralitas teks tanpa harus
kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan ijtihad untuk membuka kemungkinan
interpretasi sepanjang masih berada dalam batas-batas hukum Allah.
Contoh Penafsiran
Sebagai contoh
penafsiran Syahrur tentang QS. Ali Imran: 14, “ Zuyyina linnas hubbus
al-Syahawat min al-nisa....” Kata nisa’ dalam ayat tersebut bermakna
ta’khir (datang belakangan atau hal-hal mutakhir). Kata nisa’ tidak diartikan
sebagai “perempuan” sebagaimana tafsir pada umumnya karena kata nas berarti
manusia; laki-laki dan perempuan. Jika kata nisa dimaknai sebagai perempuan,
maka berarti al-Qur’an memperbolehkan lesbi sehingga dalam ayat tersebut tidak
diredaksikan dengan zuyyina li rijal. Selain itu, perempuan disejajarkan
dengan barang dan hewan yang tidak berakal sebagaimana kata setelahnya. Hal ini
tentu terdapat bias jender, padahal al-Qur’an telah menyejajarkan perempuan dan
laki-laki pada beberapa ayatnya yang lain.
Terkait dengan
term an-Nisa’ dalam QS. Al-Nisa’ ayat 1, 32, dan 34, nisa’ diartikan sebagai istri
dan perempuan. Dari situlah tampak kekonsistenan Syahrur dalam penolakannya
terhadap sinonimitas melalui hubungan linier dalam bahasa yakni sintagmatik dan
paradigmatik karena konteks penggunaan kata nisa’ yang berbeda dalam ayat-ayat
tersebut.
Kesimpulan
Dari
penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang
ditawarkan Syahrur telah memberi kontribusi besar bagi perkembangan keilmuan,
terutama di bidang kajian al-Qur’an. Dengan konsentrasi pada bidang bahasa
(linguistik), Seorang Syahrur yang notabene nya sebagai insinyur teknik mampu
mendalami kajian al-Qur’an sampai pada menelorkan teori baru, yakni kajian
tentang hermeneutika al-Qur’an dengan merekonstruksi pemahaman lama yang
menghegemoni kehidupan.
Daftar Pustaka
Kurdi, dkk. Hermeneutika
al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010
Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis, 2012
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an
Kontemporer, terj. Yogyakarta: Elsaq Press,2007
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj.
Yogyakarta: Elsaq Press, 2010
[1]
Merupakan
gerakan yang muncul pada tahun 1954, dipelopori oleh Jamal Abdel
Nasser (w.1970 M).
[2]
Kurdi, dkk,
Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press,2010), hlm.296.
[3] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, cet II (Yogyakarta: Lkis,
2012), hlm.93.
[4] Mubarok,
Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme linguistic dalam Tafsir Al Qur’an ala
M. Syahrur, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hal. 137-139
[5]Muhammad
Syahrur, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami diterjemahkan oleh
Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin dalam Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,
cet X, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm.55.
[6]
Kurdi dkk,
hlm.303
Tidak ada komentar:
Posting Komentar