Selasa, 07 Mei 2013

Hermeneutika Muhammad Syahrur


PENDAHULUAN
" Akankah kita habiskan umur kita dan menghentikan petikan gitar, ataukah kita akan terus memainkannya?”. Saya lebih memilih untuk terus memainkan gitar dan bukan menghentikannya. (Dikutip dari pernyataan Syahrur dalam al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah, terj. hlm.290)
Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian al-Qur’an dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya sejumlah akademisi yang menawarkan gagasan-gagasan baru dalam metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an yang disebut sebagai shalih li kulli zaman wa makan oleh Muhammad Syahrur, sejatinya selamanya akan membisu tanpa campur tangan manusia sebagai reader. Untuk itulah, sebagai reader perlu adanya upaya pembacaan al-Qur’an yang komprehensif juga tidak otoritatif. Al-Qur’an sebagai kitab universal sudah semestinya tidak dimanipulasi penafsirannya dalam segala konteks dan ruang tertentu, melainkan bagaimana penafsiran terhadap al-Qur’an selalu beiringan dengan konteks ruang dan waktu yang sesuai dengan zamannya.
Dalam perkembangan metodologi studi al-Qur’an muncul alat bantu memahami al-Qur’an disamping tafsir, yaitu hermeneutika. Pada dasarnya keduanya hampir sama, bahkan oleh sebagian orang, hermeneutika dimiripkan dengan ta’wil. Hermeneutika yang diusung seorang tokoh boleh jadi berbeda dengan tokoh lain, tergantung pada metodologinya, hal ini pun juga terdapat dalam setiap penafsiran. Dalam pemikirannya, Syahrur berangkat dari dua hal. Pertama, adanya gerakan Nasserisme[1] yang memproyeksikan suatu upaya mencari cara untuk memperkokoh eksistensi dan kedudukan mereka di dunia dan masa kini yang sama sekali berbeda dengan dunia dan masa sebelumnya. Oleh Syahrur, gerakan ini disebut sebagai gerakan yang mengusung modernitas sebagai lawan dari gerakan tradisi. Kedua, kekalahan bangsa Arab terhadap Israel. Dengan kedua hal tersebut mendorong Syahrur untuk melakukan pembacaan ulang ata al-Qur’an dengan model kontemporer sebagai respon terhadap pembacaan hegemonik, sebab, selama ini yang terjadi dalam pemikiran Islam_meminjam istilah Nasr_adalah pembacaan repetitif bukan pembacaan produktif. Pemahaman dan sikap secara proporsional terhadap tradisi dan modernitas akan menentukan terhadap keterjebakan dalam bersikap yang cenderung enggan berinteraksi dengan dunia kontemporer sehingga mengalami alinasi dari dunianya sendiri dan menyebabkan agama menjadi tidak realistis.
Nah, pemikiran Syahrur tidak terlepas dari apa yang disebut dengan tradisi dan modernitas. Syahrur menginginkan bahwa untuk memahami teks al-Qur’an tidak perlu melulu mengunggulkan penafsiran mufassir tradisional, akan tetapi al-Qur’an semestinya ditafsirkan sebagaimana zamannya. Tradisi merupakan suatu hal yang telah hidup bersama sejarah, namun tradisi perlu dibangun menjadi modernitas untuk disesuaikan dengan zaman, sebab zaman selalu terkait dengan kebutuhan. Tentu akan menjadi tidak realistis jika hanya berpegang teguh pada penafsiran tradisional di era modern seperti sekarang ini yang memungkinkan membuka lorong pemikiran yang lebih luas. Terlebih, al-Qur’an dalam kacamata Syahrur merupakan subject of interpretation. Jadi, dalam melakukan aktivitas eksegetik saat ini, umat Islam tidak harus terkungkung oleh produk penafsiran masa klasik yang saat ini sudah tidak releven lagi dan karenanya beliau menganjurkan untuk memperlakukan al-Qur’an seolah-olah baru turun, mengingat standar validitas suatu penafsiran menurut Syahrur adalah kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi dimana dan kapan tafsir itu dimunculkan.[2]
Dengan pendekatan hermeneutik yang ditawarkan, Syahrur telah mencoba mengaplikasikan teorinya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an terutama dengan pengingkarannya terhadap sinonimitas dan pemberlakuan teori batasnya. Terlepas dari aplikatif tidaknya teori tersebut untuk menjamah keseluruhan ayat al-Qur’an, apa yang diupayakan Syahrur adalah sebuah ijtihad agung yang perlu diapresiasi sebab telah menawarkan produk pemikirannya yang menjadi alternatif penghindaran dari kejumudan arah pandang tradisi menuju suatu modernitas, walaupun oleh sekelompok orang dinilai kontroversial.
Untuk itulah bagaimana cara kerja atau proyek hermeneutika syahrur yang sempat menggemparkan sejumlah tokoh Muslim dunia, bagaimana dia bisa memunculkan gagasan-gagasan kritisnya, dan sejauh mana teorinya dapat diaplikasikan pada ayat-ayat al-Qur’an, akan dibahas pada tulisan singkat ini. Sebagai pengkaji, penulis berupaya tidak terjebak dalam adu pro-kontra yang selama ini bertunas dalam merespon pemikiran kreatif seorang Muhammad Syahrur.
PEMBAHASAN
Biografi Syahrur
Ranumnya setiap buah pemikiran tentu tidak akan pernah terlepas dengan sisi-sisi seorang tokoh baik dari latar kehidupan; keluarga, pendidikan, juga setting sosial yang melingkupi keberadaannya. Begitu pula dengan Syahrur. Latar kehidupannya, beliau bernama lengkap Muhammad Syahrur al Dayyub. Lahir pada tanggal 11 April 1938 M di Damaskus, Suriah dari pasangan Deib ibnu Deib Syahrur dan Siddiqah binti Salih Filyun. Beliau menempuh pendidikan dasar dan menengah di lembaga pendidikan Abdurrahman al Kawakibi, Damaskus.
Dalam sejarah, Syiria/ Suriah tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam percaturan pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya maupun intelektual. Diantara pemikir yang lahir di tempat ini adalah Musthafa as-Siba’i, seorang ahli hadits yang konon pernah  menjadi pengawas umum gerakan al-Ikhwanul Muslimun dan Muhammad Sa’id Hawwa yang juga menjadi tokoh gerakan tersebut. sementara itu di era kontemporer ini muncul tokoh-tokoh dari bumi yang sama, yakni Aziz al-Azmeh, Adonis, dan sebagainya yang dikategorikan sebagai tokoh gerakan sekularisme baru di dunia Arab.[3]
Pada tahun 1957 ia menyelesaikan pendidikan menengahnya dan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Suriah untuk melanjutkan studi dalam bidang teknik sipil di Moskow, Rusia. Ia memperoleh gelar Diploma pada tahun 1964 dan melanjutkan studi ke Universitas Nasional Irlandia dengan beasiswa dari Universitas Damaskus dalam bidang spesialis mekanika pertahanan dan pondasi. Di sana beliau memperoleh gelar Master of Science pada tahun 1969 dan gelar Philosophy Doctor pada tahun 1972 M. Hingga saat ini beliau masih menjadi dosen di fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang Mekanika tanah dan Geologi. Selain itu beliau juga medirikan biro konsultasi teknik Dar al Isytisyarat al Handasiyyah di Damaskus. Beliau juga tertarik pada ilmu filsafat dan keIslaman, seperti : Filsafat Humanisme, Filsafat Bahasa, dan Semantika Bahasa Arab. Keilmuan bahasa inilah yang kemudian menjadi dasar beliau dalam membaca dan menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an.[4]

Karya-Karya Syahrur
Dalam beberapa karyanya, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, kemudian Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al Daulah wa al Mujtama’, Al Iman wa al Islam : Manzumat al Qiyam, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami : Fiqh al Mar’ah, Masyru’ Mitsaq al ‘amal al Islami diterjemahkan dengan judul Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, dan beberapa artikel tentang keIslaman lainnya, beliau menjumpai sejumlah pro-kontra atas pemikirannya dari para tokoh dunia.

Proyek Hermeneutika Syahrur
            Sebagai landasan proyek hermeneutikanya, ada tiga kunci dasar yang digunakan. Pertama, kainunah (kondisi berada). Kedua, sairurah (kondisi berproses). Ketiga shairuurah (kondisi menjadi). Ketiga kunci dasar tersebut akan selalu saling terkait dan merupakan starting point dalam kajian apapun dalam filsafat termasuk tentang ke-Tuhanan (theologi), alam (naturalistik), maupun manusia (antropologi). Persoalan tentang ke-Tuhanan, alam, dan manusia sebagai suatu yang ada/being/kainunah akan selalu mengalami kondisi berada (kainunah) yang tidak terlepas dari perjalanan masa (sairurah) sebagai kondisi berproses yang terus mengalami perkembangan dan perubahan dalam tiap tahapannya, karena itulah akan selalu mengalami kondisi menjadi (shairuurah) sebagai goal/tujuan.
            Kainunah atau being ( keberadaan) adalah awal dari sesuatu yang ada; Sairurah (proses) adalah gerak perjalanan masa; sementara shairuurah atau becoming (menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi “keberadaan pertama” setelah melalui “fase berproses”.[5]
Landasan dasar di atas mengindikasikan adanya anjuran Syahrur untuk sadar sejarah dalam memahami al-Qur’an terutama pada konsep sairurah_dalam bahasa Amin Abdullah_sebagai cara baca historis. Karena bagaimanapun juga produk tafsir beserta metodologinya adalah bagian dari eksistensi kainunah yang tak lekang oleh perjalanan sejarah (sairurah) yang tentu harus berkembang  bahkan berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, sehingga proyek metodologi dalam memahami al-Qur’an sebagai “kondisi berproses” dari perjalanan tafsir sebagai upaya pembumian al-Qur’an era klasik bisa jadi telah usang karena mengalami “kondisi menjadi”.

Pengingkaran Sinonimitas
            Metodologi yang diperkenalkan Syahrur dalam pemikirannya adalah pendekatan linguistik yang disebut sebagai manhaj al-tarikhi. Awalnya beliau menggabungkan metode linguistiknya Abu Ali al-Farisi, Ibnu Jinni, dan Abdul Qadir al-Jurjani. Akan tetapi akhirnya beliau menyimpulkan tidak adanya sinonimitas dalam bahasa Arab dan menjadikan Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Ibnu Faris sebagai penganut ketiadaan sinonimitas sebagai referensi wajibnya. Ketiadaan sinonimitas inilah kemudian menjadi salah satu dari prinsip metode penafsirannya.
            Menurutnya setiap ungkapan dalam bahasa Arab memiliki makna yang independen. Tidak ada kontektualisasi baik bagi teks, penerimaanya maupun penyusunanya. Dengan kata lain al-Qur’an adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang bediri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan itu. Baginya konteks terpenting dalam memahami al-qur’an adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup umat.
Pengingkaran sinonimitas Syahrur berimplikasi pada redefinisi term-term yang selama ini dianggap bersinonim, seperti al-kitab, al-Qur’an, al-Furqan, dan sebagainya. Selain itu, juga berimplikasi pada klasifikasi al-Qur’an. Oleh Syahrur, al-Qur’an terbagi menjadi dua; ayat-ayat dengan dimensi kenabian dan kerisalahan. Dalam dimensi kenabian, terdapat ayat mutasyabih dan ayat la muhkam wa la mutasyabih (Tafshil al-Kitab) yang dipahami berdasar pada “wa ukharu mutasyabihat” bukan “wa al-ukharu mutasyabihat” karena keduanya tentu sangat berbeda makna. Ayat mutasyabih juga terbagi menjadi dua; al-Qur’an al-Adzim dan Sab’ul Matsani.  Dari sisi kandungannya berisi tentang ayat informasi baik tentang akidah, kisah, dan pengetahuan ilmiah sehingga tidak dapat dirubah dan berada di luar lingkup ikhtiar manusia yang kemudian disebut dengan qadar.
Ayat mutasyabih termasuk dalam dimensi nubuwwah karena di dalamnya terdiri dari ayat-ayat bayyinat (hukum alam objektif-empiris) yang bisa diterima oleh semua kalangan. Ayat mutasyabih secara redaksional bercirikan tetap pada bentuk tekstualnya serta berubah pada dan relatif pada aspek pemahamannya.  Sedangkan ayat muhkam oleh Syahrur disebut sebagai umm al-Kitab dan masuk pada dimensi kerisalahan sebagai pentunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa dan pelengkap bagi pengetahuan yang telah diwahyukan dalam dimensi nubuwwah[6]. Ayat muhkam terdiri atas ibadah, hukum, muamalah yang bersifat hududy/limit atau memiliki variasi batasan dan tidak berbentuk legal-spesifik tekstual.
           
Teori Limit
Sejauh ini yang beredar di pasar akademisi, jika menyebut seorang Syahrur, maka sekan-akan tidak nyaman apabila belum meraba teori limitnya. Apa yang dimaksud teori limit atau hududy adalah sebuah metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer agar ajaran al-Qur’an tetap relevan dan kontekstual sepanjang masih berada dalam wilayah batas hukum Allah. Kontribusi dari teori ini sebagaimana dikutip dari buku Epistemologi Tafsir Kontemporer; pertama, dengan teori limit, ayat-ayat hukum yang selama ini dianggap final dan pasti tanpa ada alternatif pemahaman lain ternyata memiliki kemungkinan untuk diinterpretasikan secara baru dan Syahrur mampu menjelaskannya secara metodologis dan mengaplikasikannya dalam penafsirannya  melalui pendekatan matematis.
Kedua, dengan teori limit, seorang mufassir akan mampu menjaga sakralitas teks tanpa harus kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan ijtihad untuk membuka kemungkinan interpretasi sepanjang masih berada dalam batas-batas hukum Allah.
Contoh Penafsiran
Sebagai contoh penafsiran Syahrur tentang QS. Ali Imran: 14, “ Zuyyina linnas hubbus al-Syahawat min al-nisa....” Kata nisa’ dalam ayat tersebut bermakna ta’khir (datang belakangan atau hal-hal mutakhir). Kata nisa’ tidak diartikan sebagai “perempuan” sebagaimana tafsir pada umumnya karena kata nas berarti manusia; laki-laki dan perempuan. Jika kata nisa dimaknai sebagai perempuan, maka berarti al-Qur’an memperbolehkan lesbi sehingga dalam ayat tersebut tidak diredaksikan dengan zuyyina li rijal. Selain itu, perempuan disejajarkan dengan barang dan hewan yang tidak berakal sebagaimana kata setelahnya. Hal ini tentu terdapat bias jender, padahal al-Qur’an telah menyejajarkan perempuan dan laki-laki pada beberapa ayatnya yang lain.
Terkait dengan term an-Nisa’ dalam QS. Al-Nisa’ ayat 1, 32, dan 34, nisa’ diartikan sebagai istri dan perempuan. Dari situlah tampak kekonsistenan Syahrur dalam penolakannya terhadap sinonimitas melalui hubungan linier dalam bahasa yakni sintagmatik dan paradigmatik karena konteks penggunaan kata nisa’ yang berbeda dalam ayat-ayat tersebut.
Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang ditawarkan Syahrur telah memberi kontribusi besar bagi perkembangan keilmuan, terutama di bidang kajian al-Qur’an. Dengan konsentrasi pada bidang bahasa (linguistik), Seorang Syahrur yang notabene nya sebagai insinyur teknik mampu mendalami kajian al-Qur’an sampai pada menelorkan teori baru, yakni kajian tentang hermeneutika al-Qur’an dengan merekonstruksi pemahaman lama yang menghegemoni kehidupan.
Daftar Pustaka
Kurdi, dkk. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis, 2012
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, terj. Yogyakarta: Elsaq Press,2007
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010


[1] Merupakan gerakan yang  muncul  pada tahun 1954, dipelopori oleh Jamal Abdel Nasser (w.1970 M).

[2] Kurdi, dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press,2010), hlm.296.
[3] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, cet II (Yogyakarta: Lkis, 2012), hlm.93.

[4] Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme linguistic dalam Tafsir Al Qur’an ala M. Syahrur, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hal. 137-139

[5]Muhammad Syahrur, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin dalam Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, cet X, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm.55.
[6] Kurdi dkk, hlm.303

Tidak ada komentar:

Posting Komentar