Selasa, 07 Mei 2013

Tnggung Jawab Pemimpin dalam Hadis Sosial


TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN
Makalah Hadis Sosial

Dosen Pengampu: Dr. H. Agung Danarto, M.Ag


logo uin suka jgj


Disusun Oleh
Siti Mariatul K (10530071)



JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2012
PENDAHULUAN
Satu hal yang merupakan hadiah terbesar Tuhan kepada segenap manusia, bahwasanya telah disematkan pada dirinya secara fitrah sebuah jabatan pemimpin atau dalam bahasa agamanya khalifah fi al-Ardh.[1] Dengan berbekal akal dan pikiran, diharapkan manusia mampu memikul tanggung jawab dalam menjaga dan mengelola alam dengan arif dan bijaksana. Tanggung jawab menjadi sikap terpenting bagi pemimpin karena dengan tanggung jawab itulah kepemimpinan itu dapat berjalan dengan baik atau sebaliknya sesuai denagn kadar tanggung jawab yang dimilikinya.
Untuk menjadi pemimpin yang baik, dicintai, dan didambakan oleh semua orang, tidaklah cukup berbekal sebuah desire atau keinginan saja, melainkan ada upaya yang dimantapkan dengan keyakinan untuk melayani masyarakat yang ia pimpin dengan sebaik-baiknya, menghargai mereka, dan tidak bersikap senjang atau hanya mengutamakan orang-orang tertentu saja.
Dalam Islam, banyak teks-teks baik dari al-Qur’an maupun al-hadits yang berisi tentang konsep kepemimpinan. Jika di gali lebih dalam, akan ditemukan sebuah gagasan menarik yang dapat menjadi inspirasi untuk menjalani amanah ‘pemimpin’ baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Salah satu hadits yang menyinggung persoalan pemimpin adalah hadits yang berbunyi  “Tidaklah Allah ta’ala menyerahkan suatu urusan rakyat kepada seorang hamba lalu ketika menjelang ajalnya dia masih saja berkhianat kepadanya melainkan Allah pasti akan mengharamkan surga atasnya.”
Hadits tersebut sangat merespon dan menginginkan seorang pemimpin untuk bertanggung jawab penuh kepada apa yang ia pimpin. Permasalahannya kemudian, masih ada pemimpin yang hanya memiliki visi dan misi tanpa ada tindakan nyata yang diinginkan masyarakat. Untuk itulah konsep kepemimpinan itu menjadi urgen untuk meluruskan kepemimpinan-kepemimpinan yang cenderung mengunggulkan keegoannya atau kepentingannya pribadi.


PEMBAHASAN
A.   Teks Hadis
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ دَخَلَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ عَلَى مَعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ وَهُوَ وَجِعٌ فَسَأَلَهُ فَقَالَ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا لَمْ أَكُنْ حَدَّثْتُكَهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْتَرْعِي اللَّهُ عَبْدًا رَعِيَّةً يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهَا إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ قَالَ أَلَّا كُنْتَ حَدَّثْتَنِي هَذَا قَبْلَ الْيَوْمِ قَالَ مَا حَدَّثْتُكَ أَوْ لَمْ أَكُنْ لَأُحَدِّثَكَ و حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ هِشَامٍ قَالَ قَالَ الْحَسَنُ كُنَّا عِنْدَ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ نَعُودُهُ فَجَاءَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي سَأُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ ذَكَرَ بِمَعْنَى حَدِيثِهِمَا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Zura’i dari Yunus dari al-Hasan dia berkata, “Ubaidullah bin Ziyad mengunjungi Ma’qal bin Yasar yang sedang sakit. Ubaidullah kemudian memminta sebuah hadits, maka Ma’qil pun berkata: “Aku akan menyampaikan sebuah hadits yang belum pernah aku sampaikan kepadamu. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah Allah ta’ala  menyerahkan suatu urusan rakyat kepada seorang hamba lalu ketika menjelang ajalnya dia masih saja berkhianat kepadanya melainkan Allah pasti akan mengharamkan surga atasnya.” Ubaidullah berkata, “Bukankah kemarin kamu telah menyampaikan hadits ini kepadaku?. Ma’qil menjawab, ‘Aku belum pernah menyampaikan hadits ini kepadamu. Dan telah menceritakan kepadaku al-Qasim bin Zakariya telah menceritakan kepada kami Husain yakni al-Ja’fiy dari Zaidah dari Hisyam dia berkata, al-Hasan berkata,’Ketika kami sedang menjenguk Ma’qil bin Yasar datanglah Ubaidullah bin Ziyad. Ma’qil lalu berkata kepadanya, ‘Aku akan menyampaikan sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah saw..kemudian dia menyebutkan sebuah hadits yang semakna dengan hadits mereka berdua. (Sahih Muslim: 204).
B.     Takhrij
Hadis di atas setelah dilakukan takhrij dapat ditemukan pula pada Shahih Bukhari no. 6617, Shahih Bukhari  no. 6618, Musnad Ahmad no. 19406, Musnad Ahmad no. 19428 dan Sunan ad- Darimi no. 2676.[2] Berikut hasil penelusurannya:
1.      Shahih Bukhari no. 6617
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
2.      Shahih Bukhari  no. 6618
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ قَالَ زَائِدَةُ ذَكَرَهُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ أَتَيْنَا مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ نَعُودُهُ فَدَخَلَ عَلَيْنَا عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
3.      Musnad Ahmad no. 19406
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سَوَادَةُ بْنُ أَبِي الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَاعٍ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَغَشَّهَا فَهُوَ فِي النَّارِ
4.      Musnad Ahmad no. 19428
حَدَّثَنَا هَوْذَةُ بْنُ خَلِيفَةَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ مَرِضَ مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ مَرَضًا ثَقُلَ فِيهِ فَأَتَاهُ ابْنُ زِيَادٍ يَعُودُهُ فَقَالَ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَلَمْ يُحِطْهُمْ بِنَصِيحَةٍ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَرِيحُهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ مِائَةِ عَامٍ قَالَ ابْنُ زِيَادٍ أَلَا كُنْتَ حَدَّثْتَنِي بِهَذَا قَبْلَ الْآنَ قَالَ وَالْآنَ لَوْلَا الَّذِي أَنْتَ عَلَيْهِ لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهِ
5.      Sunan ad- Darimi no. 2676
أَخْبَرَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ بِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
C.    Kualitas Hadits
Hadits ini berpredikat shahih menurut jumhur ulama. Dalam hadits tersebut ada beberapa perawi yang memiliki predikat tsiqah. Misalnya al-Qasim bin Zakariya (w.250 H) yang bernama lengkap al-Qasim bin Zakariya bin Dinar, dia merupakan orang yang tsiqah. Kemudian Yahya bin Yahya (w. 226 H) yang bernama lengkap Yahya bin Yahya bin Bakir Abdurrahman juga merupakan orang yang mendapatkan predikat tsiqah.
D.    Syawahid Hadits
Dalam kaitannya dengan tema kepemimpinan, beberapa hadits Nabi saw tampaknya banyak merespon hal tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya hadits-hadits Nabi saw yang sangat erat berkaitan dan bahkan menyoal tentang kepemimpinan dari berbagai segi, termasuk hadits riwayat Imam Muslim no.204 di atas yang berisi tentang tanggung jawab pemimpin yang merupakan aspek terpenting dalam konsep kepemimpinan. Diantara hadits-hadits yang terkait dengan hadits di atas di antaranya,
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisyah r.a berkata : saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya Allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (HR. Muslim)
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Abu Hurairah r.a berkata : Rasulullah saw bersabda : dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh nabi, tiap wafat seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan sesudah aku ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa khalifah. Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya Rasulullah apakah pesanmu kepada kami? Jawab Nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan  mohonlah kepada allah bagimu, maka allah akan menanya mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam memelihara hambanya.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci Allah dan sangat jauh dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim. (HR. Tirmidzi)
E.     Analisa

1.      Konsep Kepemimpinan
Kemimpinan secara etimologi menurut KBBI berasal dari kata ‘pimpin’ dengan mendapat awalan me- menjadi ‘memimpin’ berarti menuntun, menunjukkan jalan, dan membimbing. Perkataan ‘memimpin’ bermakna sebagai kegiatan, sedang yang melaksanakannya disebut pemimpin.
Pemimpin adalah seorang yang memimpin dan mengerahkan orang lain sehingga orang yang dipimpin itu mematuhinya dengan sukarela. Setiap orang yang berfungsi memimpin, membimbing, dan mengarahkan orang lain adalah seorang pemimpin. Fungsi ini terdapat di semua sector dan bidang kehidupan, seperti usaha bisnis, organisasi pemerintahan, organisasisi kemasyarakatan atau partai politik, dan sebagainya. Pemimpin terendah di desa-desa sampai tingkat tertinggi, secara garis besar digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu administrative leader, golongan pimpinan yang menentukan kebijakan dan operative leader, yaitu golongan pemimpin yang langsung berhadapan dengan operasi, yang merupakan pelaksana dari kebijakan yang dibuat oleh pemimpin administrasi. (Effendy,1986:206-207).
Terkait dengan konsep kepemimpinan, Ott dan Fakih mendefinisikan konsep kepemimpinan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan dan perilaku orang lain.[3] Sedangkan menurut Haryanto, kepemimpinan sebagai orang yang berkuasa sekaligus mempunyai kewenangan.[4] Max weber menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah seseorang yang berkuasa terhadap satu golongan di mana seorang pemimpin itu mempunyai tipe- tipe sendiri untuk memimpin anak buahnya.[5]
Kepemimpinan juga merupakan kemampuan seseorang untuk meyakinkan orang lain agar orang lain itu dengan sukarela mau diajak untuk melaksanakan kehendaknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan seseorang sangat diutamakan. Kemampuan seseorang secara keseluruhan meliputi keunggulan fisik, mental, dan intelektualnya. Jadi, seseorang akan mampu memimpin jika ia mempunyai keunggulan, ia akan dipatuhi oleh orang-orang yang dipimpinnya. Bagi seorang muslim yang menjalankan misi sebagai pemimpin akan selalu mengharapkan keridhaan Allah Swt. atas segala yang dilakukannya. Seorang yang berbakat memimpin tetapi ia tidak menguasai ilmu dan teknologi serta tidak mempunyai pengalaman praktek akan sulit berhasil dalam kepemimpinannya. Jadi faktor bakat memang penting tetapi harus dibarengi dengan faktor pembentukan diri melalui pendidikan, praktek, dan latihan memegang peranan yang penting dalam pembentukan kepemimpinan. (Effendy,1986:208).
Dalam beberapa literatur, kepemimpinan dibedakan menjadi dua, yakni kepemimpinan spiritual dan kepemimpinan empiris. Kepemimpinan spiritual diartikan sebagai kemampuan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah swt baik secara bersama-sama maupun perseorangan.[6] Selain itu kepemimpinan spiritual juga diartikan sebagai kepemimpinan yang berbasis pada etika religius dan kepemimpinan dalam nama Tuhan. Pemimpin spiritual tidak hanya mempengaruhi pengikutnya pada tujuan organisasi melalui pemberdayaan, akan tetapi juga mengemban misi humanisasi (amar ma’ruf), liberalisasi (nahi mungkar) dan transendensi (membangkitkan iman).[7] Sedangkan kepemimpinan empiris tidak lain merupakan kepemimpinan dalam realita. Dengan kata lain, seorang pemimpin yang dapat diterima, dipatuhi, walaupun bukan dalam artian sebagai pemimpin formal, maka itulah yang disebut sebagai kepemimpinan secara empiris. Contohnya adalah ulama (tokoh agama).
A.     Analisa Isi Hadits
Sebagaimana dalam teks hadits “Tidaklah Allah ta’ala  menyerahkan suatu urusan rakyat kepada seorang hamba lalu ketika menjelang ajalnya dia masih saja berkhianat kepadanya melainkan Allah pasti akan mengharamkan surga atasnya”, dapat ditarik benang putih bahwa kejujuran seorang pemimpin sangat diperlukan dalam organisasi atau wadah yang ia pimpin. Hal ini terbukti pada sebuah riset yang dilakukan oleh beberapa ahli bahwa rahasia sukses[8] para pemimpin besar dalam mengemban misinya adalah memegang teguh kejujuran.
Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tidak dapat bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.[9]
Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini  adalah seorang pemimpin harus memberikan kaca benggala atau suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan ini  tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh Allah untuk mengninjakkan kaki di surga. Meski hukuman ini sepintas tampak hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya  hukuman “haram masuk surga” ini mencerminkan betapa murkanya Allah swt  terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakyat.
F.      Kontekstualisasi
Berkaca pada realita kepemimpinan yang terdapat pada masyarakat Indonesia, masih banyak pemimpin yang “perlu membaaca hadits di atas secara serius”. Kata-kata ‘Allah pasti akan mengharamkan surga atasnya’ bukan semata-mata surga secara real yang merupakan kebalikan dari neraka. Akan tetapi bisa jadi makna surga tersebut adalah kenikmatan, kenyamanan, kebahagiaan secara lahir batin yang ditopang dengan amal-amal baik yang dilakukan. Banyak pemimpin yang menyimpang namun secara kasat mata, hidupnya bahagia, makmur, dan sebagainya. Kebahagiaan dan kemakmuran itu bukan semata-mata sesuatu yang dapat dilihat mata telanjang, tetapi hakikatnya adalah sesuatu yang secara murni dirasaan oleh hati.
Pengkhianatan pemimpin bangsa menjadi big prblem di dalam suatu negara. Misalnya, penjualan pulau-pulau terpencil, korupsi, dan semacamnya termasuk terlalu percayanya pemimpin pusat terhadap pemimpin daerah sehingga pemimpin pusat tidak mengontrol pemimpin daerah yang menyeleweng. Untuk itulah pemimpin bukan sekedar duduk, berdiri dan berbicara saja, akan tetapi lebih pada tindakan real nya.
G.    Kesimpulan
Terkadang beberapa orang berebut kursi kepemimpinan hingga berbagai cara dilakukan untuk memenangkannya, padahal sesungguhnya menjadi pemimpin bukanlah jabatan yang mudah untuk dijalankan. Pemimpin memiliki tanggung jawab dan amanah yang besar dalam menjalankan pemerintahan. Pemimpin harus menghilangkan keegoan dan mementingkan kaum yang dipimpinnya. Untuk itulah pokok-pokok karakteristik kepemimpinan diantaranya adalah
1.      Harus memiliki kejujuran sejati
2.      Fairness
3.      Semangat beramal shalih
4.      Membenci formalitas dan organized religion
5.      Talk less do more dan santai
6.      Membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain
7.      Keterbukaan menerima perubahan
8.      Pemimpin yang dicintai
9.      Visioner tetapi fokus pada persoalan di depan mata
10.  Doing the right thing
11.  Disiplin tetapi fleksibel dan tetap cerdas dan penuh gairah
12.  Kerendahan hati
Pemimpin, selain harus memiliki ke-12 karakteristik itu, yang perlu di ingat adalah jangan pernah menjadi pemimpin yang ‘eksklusif’, cukup menjadi diri sendiri yang tidak membutuhkan orang lain. Seperti filsafat lilin, rela menerangi gulitanya sepetak ruangan akan tetapi ia kemudian habis dimakan cahanya sendiri. Sedangkan kisah ruangan itu selanjutnya tidak pernah terfikir olehnya. Dan lilin yang habis tidaklah dapat dinyalakan kembali. Wa Allahu a’lam.



[1] Khalifah fi al-Ardh atau dalam bahasa Indonesia berarti khalifah di muka bumi adalah bagian dari potongan ayat al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 30 di mana ayat ini merupakan kutipan dialog antara Allah swt dengan malaikat  yang berkenaan dengan kehendak Allah untuk menjadikan manusia sebagai khalifah atau pemimpin.
[2] Takhrij dilakukan melalui software Maushu’ah hadits
[3] Aunur Rohim Fakih, Kepemimpinan Islam. ( Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm.3.

[4] Haryanto, Kekuasaan Elit suatu Bahasan pengantar. ( Yogyakarta: PAU UGM: 2005), hlm.ii.

[5] Doyle Paul johnson, terjemahan Robert M.Z Lawang (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm.227.
[6] Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gajahmada University Pers: 1993), hlm. 18.

[7] Tobroni, The Spiritual Leadership, cet II (Malang: UMM Press, 2010), hlm. 20

[8] Tobroni, The Spiritual Leadership, hlm. 21.
[9] Lihat http://zunlynadia.wordpress.com , Hadis-hadis tentang Pemimpin, diakses pada tanggal 30 Oktober 2012

Hermeneutika Muhammad Syahrur


PENDAHULUAN
" Akankah kita habiskan umur kita dan menghentikan petikan gitar, ataukah kita akan terus memainkannya?”. Saya lebih memilih untuk terus memainkan gitar dan bukan menghentikannya. (Dikutip dari pernyataan Syahrur dalam al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah, terj. hlm.290)
Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian al-Qur’an dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya sejumlah akademisi yang menawarkan gagasan-gagasan baru dalam metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an yang disebut sebagai shalih li kulli zaman wa makan oleh Muhammad Syahrur, sejatinya selamanya akan membisu tanpa campur tangan manusia sebagai reader. Untuk itulah, sebagai reader perlu adanya upaya pembacaan al-Qur’an yang komprehensif juga tidak otoritatif. Al-Qur’an sebagai kitab universal sudah semestinya tidak dimanipulasi penafsirannya dalam segala konteks dan ruang tertentu, melainkan bagaimana penafsiran terhadap al-Qur’an selalu beiringan dengan konteks ruang dan waktu yang sesuai dengan zamannya.
Dalam perkembangan metodologi studi al-Qur’an muncul alat bantu memahami al-Qur’an disamping tafsir, yaitu hermeneutika. Pada dasarnya keduanya hampir sama, bahkan oleh sebagian orang, hermeneutika dimiripkan dengan ta’wil. Hermeneutika yang diusung seorang tokoh boleh jadi berbeda dengan tokoh lain, tergantung pada metodologinya, hal ini pun juga terdapat dalam setiap penafsiran. Dalam pemikirannya, Syahrur berangkat dari dua hal. Pertama, adanya gerakan Nasserisme[1] yang memproyeksikan suatu upaya mencari cara untuk memperkokoh eksistensi dan kedudukan mereka di dunia dan masa kini yang sama sekali berbeda dengan dunia dan masa sebelumnya. Oleh Syahrur, gerakan ini disebut sebagai gerakan yang mengusung modernitas sebagai lawan dari gerakan tradisi. Kedua, kekalahan bangsa Arab terhadap Israel. Dengan kedua hal tersebut mendorong Syahrur untuk melakukan pembacaan ulang ata al-Qur’an dengan model kontemporer sebagai respon terhadap pembacaan hegemonik, sebab, selama ini yang terjadi dalam pemikiran Islam_meminjam istilah Nasr_adalah pembacaan repetitif bukan pembacaan produktif. Pemahaman dan sikap secara proporsional terhadap tradisi dan modernitas akan menentukan terhadap keterjebakan dalam bersikap yang cenderung enggan berinteraksi dengan dunia kontemporer sehingga mengalami alinasi dari dunianya sendiri dan menyebabkan agama menjadi tidak realistis.
Nah, pemikiran Syahrur tidak terlepas dari apa yang disebut dengan tradisi dan modernitas. Syahrur menginginkan bahwa untuk memahami teks al-Qur’an tidak perlu melulu mengunggulkan penafsiran mufassir tradisional, akan tetapi al-Qur’an semestinya ditafsirkan sebagaimana zamannya. Tradisi merupakan suatu hal yang telah hidup bersama sejarah, namun tradisi perlu dibangun menjadi modernitas untuk disesuaikan dengan zaman, sebab zaman selalu terkait dengan kebutuhan. Tentu akan menjadi tidak realistis jika hanya berpegang teguh pada penafsiran tradisional di era modern seperti sekarang ini yang memungkinkan membuka lorong pemikiran yang lebih luas. Terlebih, al-Qur’an dalam kacamata Syahrur merupakan subject of interpretation. Jadi, dalam melakukan aktivitas eksegetik saat ini, umat Islam tidak harus terkungkung oleh produk penafsiran masa klasik yang saat ini sudah tidak releven lagi dan karenanya beliau menganjurkan untuk memperlakukan al-Qur’an seolah-olah baru turun, mengingat standar validitas suatu penafsiran menurut Syahrur adalah kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi dimana dan kapan tafsir itu dimunculkan.[2]
Dengan pendekatan hermeneutik yang ditawarkan, Syahrur telah mencoba mengaplikasikan teorinya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an terutama dengan pengingkarannya terhadap sinonimitas dan pemberlakuan teori batasnya. Terlepas dari aplikatif tidaknya teori tersebut untuk menjamah keseluruhan ayat al-Qur’an, apa yang diupayakan Syahrur adalah sebuah ijtihad agung yang perlu diapresiasi sebab telah menawarkan produk pemikirannya yang menjadi alternatif penghindaran dari kejumudan arah pandang tradisi menuju suatu modernitas, walaupun oleh sekelompok orang dinilai kontroversial.
Untuk itulah bagaimana cara kerja atau proyek hermeneutika syahrur yang sempat menggemparkan sejumlah tokoh Muslim dunia, bagaimana dia bisa memunculkan gagasan-gagasan kritisnya, dan sejauh mana teorinya dapat diaplikasikan pada ayat-ayat al-Qur’an, akan dibahas pada tulisan singkat ini. Sebagai pengkaji, penulis berupaya tidak terjebak dalam adu pro-kontra yang selama ini bertunas dalam merespon pemikiran kreatif seorang Muhammad Syahrur.
PEMBAHASAN
Biografi Syahrur
Ranumnya setiap buah pemikiran tentu tidak akan pernah terlepas dengan sisi-sisi seorang tokoh baik dari latar kehidupan; keluarga, pendidikan, juga setting sosial yang melingkupi keberadaannya. Begitu pula dengan Syahrur. Latar kehidupannya, beliau bernama lengkap Muhammad Syahrur al Dayyub. Lahir pada tanggal 11 April 1938 M di Damaskus, Suriah dari pasangan Deib ibnu Deib Syahrur dan Siddiqah binti Salih Filyun. Beliau menempuh pendidikan dasar dan menengah di lembaga pendidikan Abdurrahman al Kawakibi, Damaskus.
Dalam sejarah, Syiria/ Suriah tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam percaturan pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya maupun intelektual. Diantara pemikir yang lahir di tempat ini adalah Musthafa as-Siba’i, seorang ahli hadits yang konon pernah  menjadi pengawas umum gerakan al-Ikhwanul Muslimun dan Muhammad Sa’id Hawwa yang juga menjadi tokoh gerakan tersebut. sementara itu di era kontemporer ini muncul tokoh-tokoh dari bumi yang sama, yakni Aziz al-Azmeh, Adonis, dan sebagainya yang dikategorikan sebagai tokoh gerakan sekularisme baru di dunia Arab.[3]
Pada tahun 1957 ia menyelesaikan pendidikan menengahnya dan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Suriah untuk melanjutkan studi dalam bidang teknik sipil di Moskow, Rusia. Ia memperoleh gelar Diploma pada tahun 1964 dan melanjutkan studi ke Universitas Nasional Irlandia dengan beasiswa dari Universitas Damaskus dalam bidang spesialis mekanika pertahanan dan pondasi. Di sana beliau memperoleh gelar Master of Science pada tahun 1969 dan gelar Philosophy Doctor pada tahun 1972 M. Hingga saat ini beliau masih menjadi dosen di fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang Mekanika tanah dan Geologi. Selain itu beliau juga medirikan biro konsultasi teknik Dar al Isytisyarat al Handasiyyah di Damaskus. Beliau juga tertarik pada ilmu filsafat dan keIslaman, seperti : Filsafat Humanisme, Filsafat Bahasa, dan Semantika Bahasa Arab. Keilmuan bahasa inilah yang kemudian menjadi dasar beliau dalam membaca dan menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an.[4]

Karya-Karya Syahrur
Dalam beberapa karyanya, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, kemudian Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al Daulah wa al Mujtama’, Al Iman wa al Islam : Manzumat al Qiyam, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami : Fiqh al Mar’ah, Masyru’ Mitsaq al ‘amal al Islami diterjemahkan dengan judul Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, dan beberapa artikel tentang keIslaman lainnya, beliau menjumpai sejumlah pro-kontra atas pemikirannya dari para tokoh dunia.

Proyek Hermeneutika Syahrur
            Sebagai landasan proyek hermeneutikanya, ada tiga kunci dasar yang digunakan. Pertama, kainunah (kondisi berada). Kedua, sairurah (kondisi berproses). Ketiga shairuurah (kondisi menjadi). Ketiga kunci dasar tersebut akan selalu saling terkait dan merupakan starting point dalam kajian apapun dalam filsafat termasuk tentang ke-Tuhanan (theologi), alam (naturalistik), maupun manusia (antropologi). Persoalan tentang ke-Tuhanan, alam, dan manusia sebagai suatu yang ada/being/kainunah akan selalu mengalami kondisi berada (kainunah) yang tidak terlepas dari perjalanan masa (sairurah) sebagai kondisi berproses yang terus mengalami perkembangan dan perubahan dalam tiap tahapannya, karena itulah akan selalu mengalami kondisi menjadi (shairuurah) sebagai goal/tujuan.
            Kainunah atau being ( keberadaan) adalah awal dari sesuatu yang ada; Sairurah (proses) adalah gerak perjalanan masa; sementara shairuurah atau becoming (menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi “keberadaan pertama” setelah melalui “fase berproses”.[5]
Landasan dasar di atas mengindikasikan adanya anjuran Syahrur untuk sadar sejarah dalam memahami al-Qur’an terutama pada konsep sairurah_dalam bahasa Amin Abdullah_sebagai cara baca historis. Karena bagaimanapun juga produk tafsir beserta metodologinya adalah bagian dari eksistensi kainunah yang tak lekang oleh perjalanan sejarah (sairurah) yang tentu harus berkembang  bahkan berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, sehingga proyek metodologi dalam memahami al-Qur’an sebagai “kondisi berproses” dari perjalanan tafsir sebagai upaya pembumian al-Qur’an era klasik bisa jadi telah usang karena mengalami “kondisi menjadi”.

Pengingkaran Sinonimitas
            Metodologi yang diperkenalkan Syahrur dalam pemikirannya adalah pendekatan linguistik yang disebut sebagai manhaj al-tarikhi. Awalnya beliau menggabungkan metode linguistiknya Abu Ali al-Farisi, Ibnu Jinni, dan Abdul Qadir al-Jurjani. Akan tetapi akhirnya beliau menyimpulkan tidak adanya sinonimitas dalam bahasa Arab dan menjadikan Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Ibnu Faris sebagai penganut ketiadaan sinonimitas sebagai referensi wajibnya. Ketiadaan sinonimitas inilah kemudian menjadi salah satu dari prinsip metode penafsirannya.
            Menurutnya setiap ungkapan dalam bahasa Arab memiliki makna yang independen. Tidak ada kontektualisasi baik bagi teks, penerimaanya maupun penyusunanya. Dengan kata lain al-Qur’an adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang bediri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan itu. Baginya konteks terpenting dalam memahami al-qur’an adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup umat.
Pengingkaran sinonimitas Syahrur berimplikasi pada redefinisi term-term yang selama ini dianggap bersinonim, seperti al-kitab, al-Qur’an, al-Furqan, dan sebagainya. Selain itu, juga berimplikasi pada klasifikasi al-Qur’an. Oleh Syahrur, al-Qur’an terbagi menjadi dua; ayat-ayat dengan dimensi kenabian dan kerisalahan. Dalam dimensi kenabian, terdapat ayat mutasyabih dan ayat la muhkam wa la mutasyabih (Tafshil al-Kitab) yang dipahami berdasar pada “wa ukharu mutasyabihat” bukan “wa al-ukharu mutasyabihat” karena keduanya tentu sangat berbeda makna. Ayat mutasyabih juga terbagi menjadi dua; al-Qur’an al-Adzim dan Sab’ul Matsani.  Dari sisi kandungannya berisi tentang ayat informasi baik tentang akidah, kisah, dan pengetahuan ilmiah sehingga tidak dapat dirubah dan berada di luar lingkup ikhtiar manusia yang kemudian disebut dengan qadar.
Ayat mutasyabih termasuk dalam dimensi nubuwwah karena di dalamnya terdiri dari ayat-ayat bayyinat (hukum alam objektif-empiris) yang bisa diterima oleh semua kalangan. Ayat mutasyabih secara redaksional bercirikan tetap pada bentuk tekstualnya serta berubah pada dan relatif pada aspek pemahamannya.  Sedangkan ayat muhkam oleh Syahrur disebut sebagai umm al-Kitab dan masuk pada dimensi kerisalahan sebagai pentunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa dan pelengkap bagi pengetahuan yang telah diwahyukan dalam dimensi nubuwwah[6]. Ayat muhkam terdiri atas ibadah, hukum, muamalah yang bersifat hududy/limit atau memiliki variasi batasan dan tidak berbentuk legal-spesifik tekstual.
           
Teori Limit
Sejauh ini yang beredar di pasar akademisi, jika menyebut seorang Syahrur, maka sekan-akan tidak nyaman apabila belum meraba teori limitnya. Apa yang dimaksud teori limit atau hududy adalah sebuah metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer agar ajaran al-Qur’an tetap relevan dan kontekstual sepanjang masih berada dalam wilayah batas hukum Allah. Kontribusi dari teori ini sebagaimana dikutip dari buku Epistemologi Tafsir Kontemporer; pertama, dengan teori limit, ayat-ayat hukum yang selama ini dianggap final dan pasti tanpa ada alternatif pemahaman lain ternyata memiliki kemungkinan untuk diinterpretasikan secara baru dan Syahrur mampu menjelaskannya secara metodologis dan mengaplikasikannya dalam penafsirannya  melalui pendekatan matematis.
Kedua, dengan teori limit, seorang mufassir akan mampu menjaga sakralitas teks tanpa harus kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan ijtihad untuk membuka kemungkinan interpretasi sepanjang masih berada dalam batas-batas hukum Allah.
Contoh Penafsiran
Sebagai contoh penafsiran Syahrur tentang QS. Ali Imran: 14, “ Zuyyina linnas hubbus al-Syahawat min al-nisa....” Kata nisa’ dalam ayat tersebut bermakna ta’khir (datang belakangan atau hal-hal mutakhir). Kata nisa’ tidak diartikan sebagai “perempuan” sebagaimana tafsir pada umumnya karena kata nas berarti manusia; laki-laki dan perempuan. Jika kata nisa dimaknai sebagai perempuan, maka berarti al-Qur’an memperbolehkan lesbi sehingga dalam ayat tersebut tidak diredaksikan dengan zuyyina li rijal. Selain itu, perempuan disejajarkan dengan barang dan hewan yang tidak berakal sebagaimana kata setelahnya. Hal ini tentu terdapat bias jender, padahal al-Qur’an telah menyejajarkan perempuan dan laki-laki pada beberapa ayatnya yang lain.
Terkait dengan term an-Nisa’ dalam QS. Al-Nisa’ ayat 1, 32, dan 34, nisa’ diartikan sebagai istri dan perempuan. Dari situlah tampak kekonsistenan Syahrur dalam penolakannya terhadap sinonimitas melalui hubungan linier dalam bahasa yakni sintagmatik dan paradigmatik karena konteks penggunaan kata nisa’ yang berbeda dalam ayat-ayat tersebut.
Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang ditawarkan Syahrur telah memberi kontribusi besar bagi perkembangan keilmuan, terutama di bidang kajian al-Qur’an. Dengan konsentrasi pada bidang bahasa (linguistik), Seorang Syahrur yang notabene nya sebagai insinyur teknik mampu mendalami kajian al-Qur’an sampai pada menelorkan teori baru, yakni kajian tentang hermeneutika al-Qur’an dengan merekonstruksi pemahaman lama yang menghegemoni kehidupan.
Daftar Pustaka
Kurdi, dkk. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis, 2012
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, terj. Yogyakarta: Elsaq Press,2007
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010


[1] Merupakan gerakan yang  muncul  pada tahun 1954, dipelopori oleh Jamal Abdel Nasser (w.1970 M).

[2] Kurdi, dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press,2010), hlm.296.
[3] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, cet II (Yogyakarta: Lkis, 2012), hlm.93.

[4] Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme linguistic dalam Tafsir Al Qur’an ala M. Syahrur, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hal. 137-139

[5]Muhammad Syahrur, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin dalam Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, cet X, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm.55.
[6] Kurdi dkk, hlm.303